Minggu, 07 Oktober 2018

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI

(CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MANUSIA DARI DIRINYA)
1.      Latar belakang
Manusia disebut sebagai homo faber (mahkluk pekerja)[1]. Ia bekerja untuk mengembangkan diri sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kerja mencakup apa yang dilakukannya baik dalam konteks pekerjaan fisik maupun dalam pengembangan akal budi. Itu berarti kerja menjadi aktivitas manusiawi yang esensial. Dikatakan demikian karena inilah yang menjadi kekhasan manusia dari mahkluk ciptaan yang lain.
Penolakan akan dimensi ini berarti merendahkan martabat manusia. Yang dimaksudkan penolakan adalah adanya sikap atau paham yang memandang kerja sebagai suatu yang tidak manusiawi. Palto adalah salah satu manusia yang melihat kerja sebagai yang negatif. Kerja bukanlah aktivitas manusiawi karena kerja menghambat dan menekan daya penalaran manusia. Baginya yang paling penting adalah pengembanagan akal budi. Dalam konteks sekarang apa yang dikatakan plato ini tidak terlalu berpengaruh. Yang paling berpengaruh adalah teknologi[2].  Boleh dikata teknologi menjadi salah satu penyebab penolakan akan dimensi kerja ini. Teknologi dengan cara kerja yang sangat canggih membuat manusia kehilangan identitasnya sebagai mahkluk pekerja. Artinya teknologi menjadi pengedali utama kegiatan manusia. Dan manusia bukan lagi faktor penentu peradaban tetapi teknologi. Sehingga kerja tidak menjadikan manusia semakin manusiawi. kerja mengaleniasi manusia dari dirinya sendiri dan menjadi sumber ketidakadilan. Ketidakadilan ini timbul karena ada yang memperlakukan sesamanya untuk mencari keuntungan. Contohnya dalam dunia perekonomian atau perindustrian. Kegitan perindustrian adalah kegiatan menghasilkan suatu barang untuk meningkatkan nilai guna dan nilai jual barang tersebut. Nilai guna dan nilai jual ini diproleh dari kegitan tenaga kerja. Pemilik modal memperkerjakan tenaga kerja dengan upuh yang rendah sementara mereka bekerja bekerja secara maksimal. Singkat kata dalam kegitan produksi adanya pemerasan tenaga kaum buruh oleh para pemilik modal. Pemilik modal sebagai kelas atas menguasai kaum buruh sebagai kelas bawah. Inilah titik tolak konflik yang melahirkan ketidakadilan sosial dalam konteks kerja. Sebenarnya kerja bukanlah aktivitas yang membuat manusia semakin terasing dari dirinya. Kerja tetap menjadi hal yang terpenting untuk membentuk diri dan demi kelangsungan hidupnyaMaka terhadap masalah ini, gereja melalui wewenang paus menyuarakan kebenaran. Paus Leo ke XIII mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum. Ensklik ini berbicara mengenai masalah sosial yakni ketidakadilan dalam kerja. Dan sembilan puluh tahun kemudian Paus Yohanes Paulus ke II mengeluarkan ensiklik Laborem Exsersens. Ensklik ini dikelurkan bukan sekedar untuk memperingati lahirnya ensiklik Rerum Novarum tetapi karena permasalah ketidakadilan dalam dunia kerja semakin berkembang.Laborem Exsersens lebih menekankan kerja sebagai unsur hakiki dari segala masalah sosial. Kerja pada hakekatnya terarah pada pengaktualisasian diri manusia dan sebagai tugas yang diberikan oleh Allah kepadanya. Hal ini tergambar jelas dalam kitab Kejadian yakni Allah memerintah manusia untuk menguasai dan menaklukkan apa yang ada di atas bumi. Perintah untuk menguasai dan menaklukkan bumi bukan sekedar tindakan menghabiskan kekayaan alam tetapi juga merawat dan memeliharanya. 2.      Isi (Konflik antara Kerja dan Modal Pada Tahap Sejarah Masa Kini)
Dimensi-dimensi Konflik            Ajaran gereja mengenai kerja didasarkan pada teks-teks Kitab Suci yakni pada kitab Kejadian. Kerja manusia dipandang sebagai suatu kenyataan yang besar dan mendasar dalam mempengaruhi pembentukan manusiawi dan dunia. Itu berarti manusia sebagai pelaksana kerja dengan kegiatan rasionalnya. Dan kerja pada dasarnya bersifat positif, kreatif, mendidik dan berjasa. Dengan demikian sifatnya ini menjadi salah satu standarisasi dalam mengambil penilaian menegnai kerja dalam bidang-bidang yang meliputi hak-hak manusiawi. Seperti halnya dalam pernyataan-pernyataan internasional mengenai kerja dan dalam kaidah-kaidah kerja yang disiapkan oleh lembaga-lembaga perundang-undangan yang kompeten di berbagai negara atau organisasi yang membaktikan pada kegiatan ilmiah atau sosial mengenai masalah-masalah kerja.            Permasalah sosial yang seringkali terjadi adalah ketidakadilan. Ketidakadilan ini bermuara pada hal-hal yang esensial dalam diri manusia yakni kerja. Sumber permasalahnya adalah konfilik antara pemilik modal dan kaum buruh. Pemilik modal dalam kebijakan produksi menuntut kaum buruh untuk bekerja berdasarkan standarisari yang ditentukan tetapi dengan upah yang sangat rendah. Dengan demikian adanya penghisapan tenaga para buruh secara tidak manusiawi. Oleh marx Konflik ini desebut sebagai pertentangan anatara kelas yakni kelas pemilik modal (kelas atas) dengan kaum buruh (kelas bawah)[3]. Bagi Marx penghapusan kelas ini menjadi jalan untuk menghilangkan ketidakadilan. Dan ia menawarkan kolektivitas upaya-upaya produksi yakni penghapusan hak milik pribadi. Prioritas kerja            Konflik yang terjadi dalam dunia masa kini dipengaruhi oleh manusia dan cara kerja teknologi. Salah satunya adalah penemuan nuklir yang bisa menghancurkan seluruh dunia. Terhadap situasi ini gereja mengangkat suatu prinsip yakni prinsip prioritas kerja terhadap modal. Artinya adalah kerja harus dilihat sebagai peyebab pertama sedangkan modal atau seluruh perangkat-perangkat upaya-upaya produksi sebagai instrument belaka. Prinsip itu menjadi suatu kebenaran yang jelas, yang tampil berdasarkan keseluruhan pengalaman historis manusia. Manusia diperintahkan Allah untuk menaklukkan bumi yakni semua sumber daya yang tercakup di dalamnya. Dan sumber-sumber daya itu hanya dapat mengapdi manusia melalui kerja. Tetapi ketika kerja dikaitkan dengan modal timbulah permasalahan. Yang dimaksudkan dengan modal mencakup sumber-sumber daya alam dan seluruh perangkat atau upaya yang digunakan manusia untuk menggali sumber-sumber itu untuk kemudian diolah menurut kebutuhannya. Semua usaha itu adalah hasil warisan sejarah kerja manusiawi. Baik yang bersifat primitif misalnya memotong kayu dengan kapak batu maupun dalam dunia modern ini (ada mesin-mesin pemotong atau komputer). Baik kapak, ataupun mesin adalah instrument yang dihasilkan oleh kerja.Dan pada dasarnya modal tidak bisa dipisahkan dengan kerja. Tetapi kemudian keduanya saling bertentangan ketika struktur dan sistem ekonomi dan produksi berjalan. Sistem produksi menyempitkan kerja itu sendiri yakni kehilangan aspek subjektif kerja. Sehingga kerja manusiawi dipandang melulu dari sudut tujuan ekonomisnya. Dan hal ini akan jatuh pada kesesatan materialisme yakni mengagungkan apa yang bendawi dan mengabaikan hal rohani.   Kerja dan KepemilikanPersoalan yang terjadi dalam dunia ekonomi adalah kenyataan bahwa ada dua golongan dalam proses produksi. Persoalan tersebut berhubungan dengan paham tentang kerja dan kepemilikan. Pembicaraan tersebut (kerja dan pemilikan) bukan membahas tentang suatu paham-paham abstrak atau tentang “kekuatan-kekuatan impersonal” yang bekerja dalam produksi ekonomi. Kelompok produksi tebagi menjadi dua yakni golongan kapitalis dan golongan buruh. Para kapitalis berperan sebagai pemiliki modal. Para buruh yang bekerja dengan kegiatan produksi tersebut tidak memiliki hak kepemilikan terhadap modal. Kegiatan produksi menjadi kekuasaan para kapitalis.
Gereja dalam menghadapi situasi ini tidak menganut paham yang sejalan dengan program kolektivisme dan kapitalisme yang dilaksanakan oleh liberalisme. Gereja tidak mengakui kedaulatan suatu hak milik secara mutlak. Tradisi Gereja senantiasa memahami hak itu dalam konteks yang lebih luas. Semua orang memilki hak dalam menggunakan harta-benda seluruh ciptaan. Hak atas milik perorangan terbawahkan kepada hak atas penggunaan bersama. Milik kepunyaan itu harus diperuntukan bagi kesejahteraan bersama atau umum.
Kepemilikan tidak diartikan oleh Gereja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik perihal kerja. Kapitalisme yang ketat tidak boleh mendapat tempat. Modal itu pada dasarnya merupakan ciptaan dari kerja yang terlaksana berkat semua produksi. Berbagai upaya itu juga adalah sanggar kerja besar, tempat generasi kaum pekerja berjerih-payah dari hari ke hari. Kerja pada dasarnya juga bukan hanya melibatkan keterampilan tangan tetapi juga keterampilan akal budi. Gereja tidak menyetujui keputusan yang secara a priori menghapus pemilikan perorangan dalam upaya-upaya produksi. Usaha perebutan upaya-upaya produksi (modal) dari para pemilik tidak memberi jaminan pasti bahwa sosialisasinya terjadi secara memuaskan. Kelompok lain yang mengelola kepemilikan tersebut di bawah otoritas nasional hanya mengelolanya pada tingkat seluruh ekonomi nasional atau setempat. Sosialisasi terwujud apabila sifat subyek masyarakat dijamin. Para pekerja hendaknya tidak terasing dengan pekerjaannya. Artinya, setiap pribadi berhak penuh untuk memandang dirinya ikut memiliki sanggar kerja tempat ia bekerja. Setiap anggota perlu diperlakukan sebagai pribadi dan bukan dieksploitasi.
 Argumen Bernada “Personalisme”Para pekerja berusaha menggunakan semua upaya produksi. Ia mencita-citakan bahwa buah-hasil kerjanya itu dimanfaatkan olehnya dan orang lain. Keterlibatan secara penuh dari pihaknya perlu dalam proses kerjanya sendiri. Kerja itu sendiri lebih terlihat sebagai daya yang mengungkapkan personalisme para pekerja. Para pekerja bukan saja menuntut imbalan, tetapi agar proses produksi tersebut merupakan bagian miliknya. Dengan kata lain, tidak ada kesan bahwa ia menjadi sama dengan bagian kecil dari mesin produksi semata.Gereja mengajarkan bahwa kerja menusia tidak hanya menyangkut urusan ekonomi, tetapi harus menyangkut perlakuan yang pantas terhadap nilai-nilai pribadi manusia. Manusia yang bekerja harus sampai pada suatu tujuan yakni bahwa ia bekerja bagi dirinya sendiri. Kerja menjadi bagian dari ekspresi akan eksistensi dirinya. Rasa memiliki dari para pekerja akan aktivitas kerjanya akan meredahkan krisis proses produksi dalam dunia ekonomi. Penerapan ini tentu akan menghindarkan produksi dari berbagai kerugian yang menimpa seluruh proses ekonomi baik kerugian ekonomis maupun kerugian terhadap manusia sendiri. 3.         Penerapannya dalam Konteks Indonesia
   Peningkatan Sumber Daya Manusia
Pemerintah Indonesia pada periode ini memberi perhatian terhadap elemen kerja. Bahkan kabinet pemerintahannya dinamakan Kabinet Kerja. dalam kenyataan sumber daya alam yang melimpah, para pekerja di Indonesia mengalami kendala yang datang dari pihak-pihak pemilik modal (kapitalis). Para pemilik modal menjadi penguasa bagi para buruh dan dinamika perekonomian. Standard upah masih dipegang kendali oleh para kapitalis.Peningkatan mutu sumber daya manusia perlu diterapkan dalam masyarkat. Indonesia merupakan negeri yang memiliki ketersediaan sumber daya alam melimpah.  Kemampuan manusia Indonesia yang kurang memadai akan memberi ruang eksploitas dari pihak luar. Eksploitasi itu tersebut bisa terhadap modal atau pun jasa.  Penerapan ini bertujuan agar para buruh lebih kritis terhadap tindakan para penguasa modal. Sarana yang dapat dipakai untuk tujuan tersebut adalah pendidikan. Pendidikan  harus membina karakter masyarakat agar dalam kerja ia tidak sekedar bekerja untuk upah tetapi lebih terarah kepada kepentingan semua orang. Ia harus menjadi bagian dari proses produksi mengingat bahwa ketersediaan modal berasal dari negerinya.        Pengelolaan Sumber Daya Alam yang BijakPengolahan sumberdaya alam selalu melibatkan kerja manusia. Cara kerja manusia dalam pengolahan sumberdaya itu menentukan kehidupan manusia itu sendiri. Kita mengetahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki sumberdaya alam yang sangat melimpah. Sumber daya alam ini memiliki tingkatan nilai ekonomis. Ada sumber daya alam yang nilai eknomisnya tinggi, sedang dan rendah. Sumber daya alam yang nilai ekonomis yang tinggi seperti: emas, minyak intan, besi dan batu bara dan ada yang memiliki nilai ekonomi sedang dan rendah seperti: batu, kayu, pala, dan rempah-rempah. Sumberdaya alam ini harus dikelola. Siapa yang mengelolanya dan dengan cara apa?
Subjek yang mengelola sumberdaya alam ini tidak lain adalah seluruh elemen masyarakat Indonesia. Yang walaupun dalam kenyataannya pihak yang menanggani hal ini adalah para pemerintah dalam hubungannya dengan para pemilik modal. Para pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam ini harus didasarkan pada perundangan-undagan (UUD 1945). Tujuannya adalah untuk kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia.Namun secara de fakto, hasil dari pengolahan sumberdaya alam itu tidak terarah secara maksimal dalam membangun kesejahteraan masyarakat. perekonomian berjalan timbang. Dikatakan demikian, karena pihak yang berwenang tidak bijak dalam mengelolanya.  Singkat kata Pemerintah dalam hubungan dengan para pemilik modal kurang memadai dalam mengambil kebijakan.  Tolak ukur ketidakbijakan ini adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Sebenarnya pengelolaan yang bijak akan sumberdaya alam ini, konflik dalam dunia kerja semakin berkurang. KepustakaanMenezes, J. Innosencio. Manusia dan Teknologi. Yogyakarta: Kanisius, 1986.Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 1999.

[1] J. Innosencio Menezes, Manusia dan Teknologi, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Hal.9.
[2] Ibid., hal. 10.
[3] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Jakarta: Gramedia, 1999, Hal.112-113


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI (CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MA...