Jumat, 17 Agustus 2018

TRI-OS


RELASIONAL TRI-OS
LOGOS (ALLAH), ANTROPOS (MANUSIA) DAN KOSMOS (BUMI)
(Sebuah tinjauan Filsafat dan Teologi)
Pendahuluan
Allah, manusia dan alam semesta merupakan tema utama dalam ranah filsafat. Ketiga tema ini dilihat sebagai satu kesatuan dan saling berkaitan. Ketika filsafat membicarakan tentang Allah, dengan sendirinya filsafat membicarakan tentang manusia dan alam. Mengapa demikian? Sebab Logos (Allah) adalah pusat dari segala yang ada (manusia dan alam). Segala yang ada berawal dan menuju pada Logos. Manusia berziarah menuju dan berakhir pada kesempurnaan yakni Logos itu sendiri. Dan dalam proses itu manusia berpijak pada alam. Alam yang dipijak oleh manusia itu adalah alam yang dinamis. Dikatakan dinamis karena alam memberi kehidupan kepada manusia secara berkala.
Alam yang dinamis serta manusia yang berziarah mengambarkan kehadiran Logos. Di sinilah letak dimensional kesejarahan Logos yakni yang hadir dalam ruang dan waktu (manusia dan alam). Dengan demikian relasional tri-os (Logos, Antropos dan Kosmos) bukan suatu yang absurd tetapi nyata dan menyejarah (historisitas).
Logos yang Terlibat
Allah yang “ada” adalah Allah yeng terlibat dalam kehidupan manusia. Allah hadir dalam pengalaman-pengalaman keseharian manusia. Keterlibatan-Nya ini menunjukkan bahwa Allah itu menyejarah. Armada Riyanto mengatakan:
Pada prinsipnya, yang saya maksudkan Tuhan pun menyejarah memiliki kebenaran dan hidup sehari-hari, dalam pengalaman gelap dan terang hidup manusia, dalam kerinduan dan harapan dan kecemasan manusia. Tuhan adalah Tuhan yang terlibat dalam hidup sehari-hari (Menjadi Mencintai, Hal. 21).
Hal ini menunjukkan bahwa Allah dan manusia adalah suatu kesatuan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Allah untuk manusia sudah terbukti dalam sejarah. Sehingga Allah yang menyejarah tidak lain adalah Allah yang “mengada”. Mengada berarti ia yang menyebabkan kehadiran manusia dan segala sesuatu yang ada.
Ia adalah asal dan tujuan dari segala sesuatu atau dari segala apa yang ada. Allah adalah segalanya dan semuanya. Ia yang memungkinkan segala apa yang ada ini tercipta. Tidak ada ciptaan di luar kehendak Allah. Ia terlibat.  (MM, Hal. 22).
Pembuktian keterlibatan Allah tercermin dalam action manusia. Tentu tindakan yang berdimensi baik, benar dan adil. Dan kehadiraan Allah akan teraktualisasi jika manusia membuka diri. Apa artinya membuka diri? Membuka diri berarti adanya pengosongan diri (kenosis) yakni suatu proses melepaskan. Melepaskan segala ketidakjelasan orintasi hidup dan membiarkan Logas berkerja. Ketika Logos bekerja maka dengan sendirinya Ia terlibat.
Baik Etis-Pola Penziarahan Manusia
            Manusia yang berziarah adalah manusia yang mencari, mengejar dan menciptakan sejarah hidup. Dalam penziarahan itu manusia menempatkan diri sebagai aktor utama. Manusia tidak tinggal diam. Ia harus aktif yakni mengaktifkan seluruh pontensialitasnya, baik itu potensi intelektual, emosional, spiritual maupun fisikal. Dan Potensi-potensi inilah yang membuktikan kemanusiaan manusia. Yang dimaksud dengan unsur kemanusiaan adalah “kodrat yang tunggal, tetap, sama dan sederajat”.
Kemanusiaan berarti itu yang merupakan hakikat manusia. Berhadapan dengan manusia berarti berhadapan dengan kemanusiaan. Sebagai hakekat, manusia harus saling menghormati (MM, Hal. 10)
Menghormati adalah model hidup yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Menghormati sangat erat kaitannya dengan berbuat baik. Ketika seseorang berbuat baik berarti ia sedang menghormati sesama. Sehingga baik harus menjadi karakter alamiah manusia. Dan baik yang saya maksudkan adalah baik dalam prespektif Aristoteles.
Baik adalah kata yang dipakai dalam konteks etika. Etika merupakan filsafat yang berbicara tentang perbuatan manusia. Baik, kata Aristoteles, adalah itu yang segala bentuk perbuatan manusia ingin mengejarnya. Kehendak manusia jelas selalu ingin meraih kebaikan (MM, Hal. 44).
Baik menunjukkan bahwa manusia adalah mahkluk yang berakal, rasional dan relasional. Baik-etis juga mengambarkan realitas manusia yang utuh dan sempurna. Mengapa demikian? Sebab baik-etis ini mampu menciptakan sebuah keindahan hidup. Keindahan itu tidak lain adalah kesempurnaan. Tentu keindahan itu bukan perkara “baik” semata tetapi juga menjadi tujuan dari perjalanan jiwa. Jiwa itu berproses menuju kesempurnaan. Jiwa yang besar itu tidak hanya terungkap dalam melakukan hal yang besar tetapi juga dalam melakukan hal yang kecil.  Contonya adalah ibu Teresia. Ia tidak pernah melakukan karya yang luar biasa melainkan hal-hal yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang.
Dari Teresia kita belajar jiwa yang melakukan penziarahan indah menuju sang keindahan itu sendiri. Teresia mengantar manusia kepada pengetahuan mengenai jiwa. Ia memberi contoh bagaimana sebuah hidup yang sederhana, bagaimana aktivitas yang-dalam pandangan mata-spele, jiwa manusia mampu menggapai kreativitas yang sangat indah dan luar biasa. Semacam, menuntut keyakinan Teresia, keangungan cinta jiwa (manusia) tidak terletak di peristiwa hebat dan luar biasa, tetapi di jalan-jalan kecil keindahan sehari-hari (Mm, Hal. 12)
Itu berarti pengalaman keseharian memuat berbagai macam nilai kehidupan. Dan nilai itu mengarahkan manusia pada kesempurnaan hidup yakni pada logos itu sendiri. Namun nilai-nilai itu terkadang hilang dari pandangan manusia. Hal ini terjadi karena manusia lebih mengutamakan kepuasaannya (eros). Dan kedudukan eros sangat bertentangan dengan kodrat jiwa. Para filsuf klasik mengamini hal ini sebagai suatu kebenaran. Plato yang adalah salah satu filsuf klasik mengatakan bahwa “tubuh adalah penjara bagi jiwa” (MM, Hal. 12). Tubuh menjadi penghalang bagi jiwa untuk sampai pada logos. Tetapi sebenarnya tubuh tidak melulu direduksi sebagai yang negatif. Tubuh direduksi secara negatif, pertama-tama karena ia bersifat: sementara, tidak abadi atau kekal. Singkat kata tubuh selalu dalam dimensi kesementaraan.
            Berziarah juga bukan hanya perkara tubuh dan jiwa semata tetapi juga perkara akal budi. Akal budi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai subjek yang otonom tidak lain adalah manusia yang berakal. Decartes mengatakan “cogito ergo sum” yang berarti aku berpikir maka aku ada” (Mm, hal. 16). Berpikir tidak lain adalah aktivitas “mengada” atau “menjadi”. Mengada menunjukkan bahwa manusia tidak berhenti pada ketidaktahuan. Manusia selalu mencari tahu apa yang tidak dikenalnya. Pencarian ini kemudian terarah pada pengenalan personalitasnya. Maka pengenalan dalam penziarahan itu harus dilandasi dengan pola baik-etis.
Estetika Alam (kosmos)
            Alam itu indah. Keindahannya nampak dalam keberagaman unsur atau komponen yang ada. Sebagai contoh: adanya pergantian musim, adanya keanekaragaman binatang, pohon maupun pesona-pesona yang lainnya. Singkatnya alam itu memuat segala keindahan. Dan keindahannya tidak diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Keindahannya selalu dalam konteks “memberi”. Ia memberinya kepada manusia.
            Alam juga dilihat sebgai locus bagi manusia untuk mengada dan menjadi. Tanpa alam manusia tidak ada. Itu berarti alam turut membantu penziarahan manusia.
Alam pendek kata-adalah dinamika kesempurnaan hidup manusia itu sendiri. Alam seakan menjadi rujukan bagi ritme hidup sehari-hari. Alam juga seolah menata bagaimana manusia mesti menjalani aktivitasnya (MM, Hal. 29).
Alam juga memberi rasa kebahagiaan kepada manusia dengan keindahannya, sekaligus memberi rasa kekaguman melalui keunikan. Maka kita sebagai manusia tidak boleh melihat alam sebagai objek. Kita harus menempatkan alam sebagai ibu yang selalu memberikan kehidupan. Jika demikian, diri kita akan terbentuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Artinya kita berperan sebagai pemelihara alam.
           Apa arti menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Pemaknaan kata tanggungjawab selalu dalam konteks kerja. Dengan demikian tanggung jawab tidak lain adalah bekerja. Apalagi kerja bagi manusia adalah suatu panggilan.
Dalam Enseklik Laborem Exercens (Paus Yohanes Paulus ke II) dikatakan dengan jelas bahwa kerja adalah bagian integral dari martabat manusia. Kerja tidak hanya sekedar aktivitas yang mereduksi sesuatu atau menghasilkan uang. Kerja adalah cetusan dari martabat manusiawi (MM, Hal. 121).
Dengan demikian, manusia harus mengaktualisasikan rasa tanggungjawab dalam keseharian hidupnya. Baik tanggungjawab terhadap dirinya, sesama maupun terhadap alam semesta. Tanggungjawab itu harus diposisikan secara seimbang. Manusia tidak boleh mengutamakan yang satu dan yang lain diabaikan. Misalnya manusia hanya bertanggungjawab terhadap dirinya dan mengabaikan alam semesta. Model tanggungjawab seperti ini tidak menunjukkan hakekat manusia.
Kesimpulan
            Allah yang “ada” adalah Allah yang menyejarah. Ia terlibat dalam seluruh dinamika kehidupan manusia yang sedang berziarah. Dan penziarahan manusia adalah penziarahan menuju kesempurnaan yakni Logos (Allah). Dalam penziarahan itu manusia bertumpu pada kosmos. Kosmos ini dikenal sebagai ibu yang menghidupkan. Dikatakan demikian karena dalam dirinya ada keindahan dan kekayaan. Alam yang menghidupkan tidak lain karena adanya partisipasi sang Logos. Logos menjadi sumber dari segala yang ada. Dengan demikian: Logos, antropos dan kosmos adalah satu kesatuan. Logos harus dilihat sebgai peyebab yang mengadakan antropos dan kosmos. Maka manusia dan alam tidak dapat berdiri sendiri tanpa Logos.


LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI (CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MA...