RELASIONAL
TRI-OS
LOGOS
(ALLAH), ANTROPOS (MANUSIA) DAN KOSMOS (BUMI)
(Sebuah
tinjauan Filsafat dan Teologi)
Pendahuluan
Allah, manusia dan
alam semesta merupakan tema utama dalam ranah filsafat. Ketiga tema ini dilihat
sebagai satu kesatuan dan saling berkaitan. Ketika filsafat membicarakan
tentang Allah, dengan sendirinya filsafat membicarakan tentang manusia dan
alam. Mengapa demikian? Sebab Logos (Allah) adalah pusat dari segala yang ada
(manusia dan alam). Segala yang ada berawal dan menuju pada Logos. Manusia
berziarah menuju dan berakhir pada kesempurnaan yakni Logos itu sendiri. Dan
dalam proses itu manusia berpijak pada alam. Alam yang dipijak oleh manusia itu
adalah alam yang dinamis. Dikatakan dinamis karena alam memberi kehidupan kepada
manusia secara berkala.
Alam yang dinamis serta
manusia yang berziarah mengambarkan kehadiran Logos. Di sinilah letak
dimensional kesejarahan Logos yakni yang hadir dalam ruang dan waktu (manusia
dan alam). Dengan demikian
relasional tri-os (Logos, Antropos
dan Kosmos) bukan suatu yang absurd tetapi nyata dan menyejarah (historisitas).
Logos
yang Terlibat
Allah yang “ada”
adalah Allah yeng terlibat dalam kehidupan manusia. Allah hadir dalam pengalaman-pengalaman
keseharian manusia. Keterlibatan-Nya ini menunjukkan bahwa Allah itu
menyejarah. Armada Riyanto mengatakan:
Pada
prinsipnya, yang saya maksudkan Tuhan pun menyejarah memiliki kebenaran dan
hidup sehari-hari, dalam pengalaman gelap dan terang hidup manusia, dalam
kerinduan dan harapan dan kecemasan manusia. Tuhan adalah Tuhan yang terlibat
dalam hidup sehari-hari (Menjadi Mencintai, Hal. 21).
Hal ini menunjukkan bahwa Allah dan
manusia adalah suatu kesatuan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah.
Allah untuk manusia sudah terbukti dalam
sejarah. Sehingga Allah yang menyejarah tidak lain adalah Allah yang “mengada”.
Mengada berarti ia yang menyebabkan kehadiran manusia dan segala sesuatu yang
ada.
Ia adalah
asal dan tujuan dari segala sesuatu atau dari segala apa yang ada. Allah adalah
segalanya dan semuanya. Ia yang memungkinkan segala apa yang ada ini tercipta.
Tidak ada ciptaan di luar kehendak Allah. Ia terlibat. (MM, Hal. 22).
Pembuktian keterlibatan
Allah tercermin dalam action manusia. Tentu tindakan
yang berdimensi baik, benar dan adil. Dan kehadiraan Allah akan teraktualisasi
jika manusia membuka diri. Apa artinya membuka diri? Membuka diri berarti
adanya pengosongan diri (kenosis)
yakni suatu proses melepaskan. Melepaskan segala ketidakjelasan orintasi hidup
dan membiarkan Logas berkerja. Ketika Logos bekerja maka dengan sendirinya Ia terlibat.
Baik
Etis-Pola Penziarahan Manusia
Manusia
yang berziarah adalah manusia yang mencari, mengejar dan menciptakan sejarah
hidup. Dalam penziarahan itu manusia menempatkan diri sebagai aktor utama.
Manusia tidak tinggal diam. Ia harus aktif yakni mengaktifkan seluruh
pontensialitasnya, baik itu potensi intelektual, emosional, spiritual maupun
fisikal. Dan Potensi-potensi inilah yang membuktikan kemanusiaan manusia. Yang
dimaksud dengan unsur kemanusiaan adalah “kodrat yang tunggal, tetap, sama dan
sederajat”.
Kemanusiaan
berarti itu yang merupakan hakikat manusia. Berhadapan dengan manusia berarti
berhadapan dengan kemanusiaan. Sebagai hakekat, manusia harus saling
menghormati (MM, Hal. 10)
Menghormati adalah model hidup yang
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Menghormati sangat erat kaitannya dengan
berbuat baik. Ketika seseorang berbuat baik berarti ia sedang menghormati sesama.
Sehingga baik harus menjadi karakter alamiah manusia. Dan baik yang saya
maksudkan adalah baik dalam prespektif Aristoteles.
Baik adalah
kata yang dipakai dalam konteks etika. Etika merupakan filsafat yang berbicara
tentang perbuatan manusia. Baik, kata Aristoteles, adalah itu yang segala
bentuk perbuatan manusia ingin mengejarnya. Kehendak manusia jelas selalu ingin
meraih kebaikan (MM, Hal. 44).
Baik menunjukkan bahwa manusia adalah
mahkluk yang berakal, rasional dan relasional. Baik-etis juga mengambarkan
realitas manusia yang utuh dan sempurna. Mengapa demikian? Sebab baik-etis ini
mampu menciptakan sebuah keindahan hidup. Keindahan itu tidak lain adalah
kesempurnaan. Tentu keindahan itu bukan perkara “baik” semata tetapi juga
menjadi tujuan dari perjalanan jiwa. Jiwa itu berproses menuju kesempurnaan.
Jiwa yang besar itu tidak hanya terungkap dalam melakukan hal yang besar tetapi
juga dalam melakukan hal yang kecil.
Contonya adalah ibu Teresia. Ia tidak pernah melakukan karya yang luar
biasa melainkan hal-hal
yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang.
Dari Teresia
kita belajar jiwa yang melakukan penziarahan indah menuju sang keindahan itu
sendiri. Teresia mengantar manusia kepada pengetahuan mengenai jiwa. Ia memberi
contoh bagaimana sebuah hidup yang sederhana, bagaimana aktivitas yang-dalam
pandangan mata-spele, jiwa manusia mampu menggapai kreativitas yang sangat
indah dan luar biasa. Semacam, menuntut keyakinan Teresia, keangungan cinta
jiwa (manusia) tidak terletak di peristiwa hebat dan luar biasa, tetapi di
jalan-jalan kecil keindahan sehari-hari (Mm, Hal. 12)
Itu berarti pengalaman keseharian memuat berbagai macam
nilai kehidupan. Dan nilai itu mengarahkan manusia pada kesempurnaan hidup
yakni pada logos itu sendiri. Namun nilai-nilai itu terkadang hilang dari pandangan manusia. Hal
ini terjadi karena manusia lebih mengutamakan kepuasaannya (eros). Dan
kedudukan eros sangat bertentangan dengan kodrat jiwa. Para filsuf klasik mengamini hal ini sebagai suatu
kebenaran. Plato yang adalah salah satu filsuf klasik mengatakan bahwa “tubuh
adalah penjara bagi jiwa” (MM, Hal. 12).
Tubuh menjadi penghalang bagi jiwa untuk sampai pada logos. Tetapi sebenarnya
tubuh tidak melulu direduksi sebagai yang negatif. Tubuh direduksi secara
negatif, pertama-tama karena ia bersifat: sementara, tidak abadi atau kekal. Singkat
kata tubuh selalu dalam dimensi kesementaraan.
Berziarah juga bukan hanya perkara tubuh
dan jiwa semata tetapi juga perkara akal budi. Akal budi memainkan peranan
penting dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai subjek yang otonom tidak lain
adalah manusia yang berakal. Decartes mengatakan “cogito ergo sum” yang berarti
aku berpikir maka aku ada” (Mm, hal. 16). Berpikir tidak lain adalah aktivitas
“mengada” atau “menjadi”. Mengada menunjukkan bahwa manusia tidak berhenti pada
ketidaktahuan. Manusia selalu mencari tahu apa yang tidak dikenalnya. Pencarian
ini kemudian terarah pada pengenalan personalitasnya. Maka pengenalan dalam penziarahan itu harus dilandasi
dengan pola baik-etis.
Estetika
Alam (kosmos)
Alam
itu indah. Keindahannya nampak dalam keberagaman unsur atau komponen yang ada.
Sebagai contoh: adanya pergantian musim, adanya keanekaragaman binatang, pohon
maupun pesona-pesona yang lainnya. Singkatnya alam itu memuat segala keindahan. Dan keindahannya tidak diperuntukkan untuk dirinya sendiri.
Keindahannya selalu dalam konteks “memberi”. Ia memberinya kepada manusia.
Alam
juga dilihat sebgai locus bagi
manusia untuk mengada dan menjadi. Tanpa
alam manusia tidak ada. Itu berarti alam turut membantu penziarahan manusia.
Alam
pendek kata-adalah dinamika kesempurnaan hidup manusia itu sendiri. Alam seakan
menjadi rujukan bagi ritme hidup sehari-hari. Alam juga seolah menata bagaimana
manusia mesti menjalani aktivitasnya (MM, Hal. 29).
Alam juga memberi
rasa kebahagiaan kepada manusia dengan keindahannya, sekaligus memberi rasa
kekaguman melalui keunikan. Maka kita sebagai manusia tidak boleh melihat alam
sebagai objek. Kita harus menempatkan alam sebagai ibu yang selalu memberikan
kehidupan. Jika demikian, diri kita akan terbentuk menjadi pribadi yang
bertanggungjawab. Artinya kita berperan sebagai pemelihara alam.
Apa
arti menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Pemaknaan kata tanggungjawab selalu
dalam konteks kerja. Dengan demikian tanggung jawab tidak lain adalah bekerja.
Apalagi kerja bagi manusia adalah suatu panggilan.
Dalam Enseklik Laborem Exercens (Paus Yohanes
Paulus ke II) dikatakan dengan jelas bahwa kerja adalah bagian integral dari
martabat manusia. Kerja tidak hanya sekedar aktivitas yang mereduksi sesuatu
atau menghasilkan uang. Kerja adalah cetusan dari martabat manusiawi (MM, Hal.
121).
Dengan
demikian, manusia harus mengaktualisasikan rasa tanggungjawab dalam keseharian
hidupnya. Baik tanggungjawab terhadap dirinya, sesama maupun terhadap alam
semesta. Tanggungjawab itu harus diposisikan secara seimbang. Manusia tidak
boleh mengutamakan yang satu dan yang lain diabaikan. Misalnya manusia hanya
bertanggungjawab terhadap dirinya dan mengabaikan alam semesta. Model
tanggungjawab seperti ini tidak menunjukkan hakekat manusia.
Kesimpulan
Allah
yang “ada” adalah Allah yang menyejarah. Ia terlibat dalam seluruh dinamika
kehidupan manusia yang sedang berziarah. Dan penziarahan manusia adalah
penziarahan menuju kesempurnaan yakni Logos (Allah). Dalam penziarahan itu
manusia bertumpu pada kosmos. Kosmos ini dikenal sebagai ibu yang menghidupkan.
Dikatakan demikian karena dalam dirinya ada keindahan dan kekayaan. Alam yang
menghidupkan tidak lain karena adanya partisipasi sang Logos. Logos menjadi
sumber dari segala yang ada. Dengan demikian: Logos, antropos dan kosmos adalah
satu kesatuan. Logos harus dilihat sebgai peyebab yang mengadakan antropos dan
kosmos. Maka manusia dan alam tidak dapat berdiri sendiri tanpa Logos.