Telaah Epistemologi dalam Budaya Manggarai
(Mendengar, Berbicara, Menunggu dan Gotong Royong”)
Senget (Mendengar)
Senget secara harafiah
berarti mendengar. Dalam budaya manggarai Senget
selalu dalam konteks aku engkau. Dalam relasi aku engkau, senget menjadi salah satu aspek dalam berinteraksi. Hal ini juga
menekankan soal kedirian manusia itu sendiri yakni sebagai mahkluk sosial (homosocial). Dengan kata lain aspek
sosial manusia juga terwujud dalam budaya senget
orang Manggarai. Orang Manggarai memaknai kata sengget tidak hanya sebagai
medium dalam berinteraksi. Orang Manggarai menempatkan kata senget dalam konteks yang lebih luas.
Yang saya maksudkan luas adalah soal bagaimana kata sengget itu dimaknai. Senget bisa merujuk sebagai sarana dalam
memahami, mengerti dan mendidik.
Pertama adalah memahami.
Memahami yang dimaksudkan dalam kata senget
nampak ketika seseorang berhadapan dengan wejangan atau nasihat. Ambil contoh
ketika seorang anak membuat kesalahan tentu orang tua akan mendidiknya. Dalam
aktivitas mendidik itu antara orang tua dan anak terjadi subuah interaksi.
Dalam interaksi itu orangtua berada pada posisi mendidik. Sedangkan pihak yang
mendengar adalah anak. Biasanya mendengar menjadi pilihan utama dari seorang
anak. Ia mendengar apa yang menjadi nasihat dari orang tuanya. Dalam budaya
Manggarai mendengar berarti harus memahami. Seorang anak dituntut untuk
memahami apa yang menjadi wejangan atau nasihat dari orang tuanya. Itu berarti
mendengar (senget) mengandung dimensi
epistemologi yakni memahami. Yang dimaksudkan dengan memahami adalah mengetahui
isi dari nasehat itu.
Kedua adalah mengerti. Mengerti dalam kata senget tidak lain juga berarti memahami.
Memahami mengenai apa yang dibicarakan oleh lawan bicara. Mengerti dalam arti
kata senget juga semacam menjadi
syarat utama dalam berkomunikasi. Mengapa demikian? Alasan yang paling
fundamental adalah supaya dalam komunikasi
itu berjalan dengan lancar. Artinya bahwa senget selalu menjadi langkah awal dalam memahami isi komunikasi
lisan.
Ketiga adalah mendidik. Mendidik juga menjadi bagian dari
pemahaman kata senget. Korelasi
keduanya tidak jauh berbeda dengan kata memahami dan mengerti. Mendidik yang
dimaksudkan dalam kata sengget
terletak pada fungsinya. Artinya ketika seorang berada dalam aktivitas senget, ia juga berada pada proses
edukatif. Proses edukatif itu tidak lain adalah mendidik. Mendidik yang
berbasis karakter. Berbasis karakter yang dimaksudkan adalah soal integritas
diri yang matang. Apalagi menjadi manusia berkarakter adalah tujuan penziarahan
masyarakat Manggarai.
Itu
berarti bahwa aktivitas senget
mengandung aspek eduakitf yang luar biasa. Aspek edukatif ini semacam menjadi
warna dasar dari aktivitas senget.
Memang kelihatan sederhana dan bahkan kebanyakan orang tidak menggapnya sebagai
medium dalam memanusiakan manusia. Tetapi sadar atau tidak sadar manusia juga
dibentuk oleh aktivitas ini termasuk
masyarakat Manggarai.
Potensialitas dalam memanusiakan manusia dalam aktivitas senget sangatlah besar. Artinya bahwa
adanya suatu peralihan dari manusia yang “berada” menjadi “mengada”. Berada
yang saya maksudkan adalah manusia yang belum merealisasikan potensi yang ada
dalam dirinya. Sedangkan “mengada” tidak lain adalah manusia yang sudah
teraktualisasikan potensi yang dalam dirinya.
Dengan demikian senget masuk
dalam kategori pedagogis. Saya
mengatakan ini karena aktivitas senget
menjadi bagian dari aktivitas pendidikan. Kita tahu bahwa fungsi dasar
pendidikan adalah memanusiakan manusia atau humanitas. Menjadikan manusia dari
sekedar “berada” menjadi “mengada”. Ketika aktivitas senget masuk dalam kategori pedagogi, masyarakat Manggarai semakin
mengerti apa artinya bermasyarakat.
Torok (Berbicara)
Secara
harafiah torok berarti berbicara
(Jilis A.J. Verheijen, 1967: 656). Kata torok
ini berbeda dengan kata tombo, turuk atau ganda yang juga
berarti berbicara, bukan pula sebagai
sinonim. Tombo atau ganda (berbicara) secara khusus merujuk
pada aktivitas percakapan manusia sehari-hari. Itu berarti Perbedaannya
terletak pada konteks dan isi pembicaraan. Torok selalu dalam konteks yang
sangat khusus yakni hanya dipakai dalam upacara adat yang bernuansa resmi
sekaligus “sakral”. Dikatakan demikian kerena torok menjadi “ritus” dalam hubungan dengan sesama maupun dengan para leluhur. Torok
sebagai sebuah “ritus” yang “sakral” berarti sebagai sesuatu yang esensial.
Bagi
masyarakat Manggarai budaya torok
menjadi hal paling penting dalam membagun sebuah relasi dan berkomunikasi, baik
relasi dengan sesama maupun dengan para leluhur. Dalam relasi dengan sesama
torok berfungsi sebagai cara yang paling formal dan santun. Acara ini terutama dalam melaksanakan upacara meriah seperti
acara tiba meka (terima tamu). Dalam
acara terima tamu ini orang Manggarai biasanya menggunakan bahasa yang puitis
yang bernuansa kekelurgaan. Tujuannya adalah supaya para tamu tidak merasa
minder melainkan merasa nyaman (at home)
dengan warga masyarakat. Dan dalam upacara torok ini bahasa simbolis yang
digunakan adalah tuak (bir) dan manuk (ayam). Kedua hal ini (tuak dan manuk) memiliki makna khusus
bagi orang Manggarai. Tuak sebagai lambang untuk melepaskan dahaga bagi
para tamu sedangkan manuk sebagai hewan korban untuk hidangan. Lebih dari pada
itu menunjukan bahwa tamu diterima dengan sepenuh hati oleh masyarakat kampung
tersebut. Karena kedudukan yang begitu penting sehingga hanya orang yang
mengerti tentang adat yang bisa melakukannya. Bisanya yang melakukan torok adalah tu’a golo kepala kampung atau yang mewakili. Perlu diketahui bahwa
kepala kampung ini memiliki kharisma khusus dalam menjalankan tugas ini.
Torok
pada dasarnya berdimensi luas. Luas kerena torok menjadi upacara pembuka untuk
setiap acara adat yang lain. Itu berarti torok harus sesuai dengan upacara yang
dilakukan. Misalnya dalam hubungan antara manusia ada namanya torok tiba meka (terima tamu) dan torok
baro sala (minta maaf). Torok tiba
meka dan torok baro sala itu berbeda isinya. Namun keduanya bagi orang
Manggarai memiliki unsur sosietas. Dengan
demikian torok secara tersirat
mengambarkan masyarakat Manggarai yang terbuka.
Sedangkan
konteks torok dalam relasi dengan para leluhur menjadi upacara yang sakral.
Sakral yang saya maksudkan adalah soal pola relasi yang dibagun. Kita ketahui
bahwa pola relasi dengan para leluhur tidak sama dengan pola relasi dengan
sesama. Konsekuensinya adalah orang Manggarai melakukannya dengan penuh
parhatian. Mengapa demikian? karena dalam konsep orang Manggarai para arwah
memiliki pangaruh yang sangat besar dalam kehidupan mereka. Mereka mengangap
bahwa para arwah bisa berbuat sesuatu kepada mereka, entah itu hal yang baik maupun yang buruk.
Hal yang baik misalnya mendapat hasil panen yang melimpah atau mengalami
penyembuhan dari penyakit yang berat. Sedangkan hal yang buruk misalnya adanya
kematian atau malapetaka. Hal ini memang
sungguh terjadi. Itu berarti, para leluhur memiliki kedudukan yang penting
dalam dinamika kehidupan masyarakat Manggarai. Dalam upacara torok itu orang Manggarai mengunakan
telor ayam kampung sebagai ganti bir. Telor ini sebagai sesajian awal, yang
berfungsi untuk mengundang mereka. Kehadiran mereka sangat penting dalam
melaksanakan suatu kegiatan adat.
Maka Torok dalam kaca mata pengetahuan
berdimensi luas. Luas karena meyentuh seluruh dinamika kehidupan manusia. Di
sana kita menemukan apa yang disebut cinta, penghargaan dan relasi. Sehingga
tidaklah salah kalau budaya ini menjadi
“itu” yang hidup. Sebab dari sana jugalah orang Manggarai membangun cara hidup
dalam bermasyarakat. Membangun masyarakat yang harmonis dan aman.
Dodo (Bergotong
Royong)
Secara
harafiah dodo berarti bertolong-tolong
(Jilis A.J. Verheijen, 1967: 86). Bertolong-tolong dalam konteks budaya
Manggarai merujuk pada aktivitas kerja. Itu berarti dodo berarti bekerja
seperti berkebun. Berkebun bagi masyarakat Manggarai menjadi habitus. Dikatakan
demikian, karena masyarakat Manggarai
didominasi oleh masyarakat agraris. Konsekuensinya adalah tanah menjadi tempat
untuk mencari nafkah. Dan bagi orang Manggarai tanah adalah harta karun. Harta
karun ini selalu dijaga karena dianggap sebagai jiwa dari para leluhur lalu kemudian
dikelola.
Tanah
dikelola dengan maksud untuk mendatangkan sesuatu yang berguna bagi kehidupan.
Tidak seperti masyarakat kapitalis atau industri yang mendapatkan segala
sesuatu dengan mudah. Masyarakat Manggarai yang merupakan masyarakat agraris,
mendatangkan segala sesuatu dari tanah. Bagaimana mereka mendatangkannya?
Mereka mendatangkan atau memproleh kebutuhan itu dengan bekerja. Dan dalam
mengelola tanah itu masyarakat Manggarai selalu bekerja sama. Artinya dalam
membuka lahan, menanam dan memanen sesutu selalu melibatkan orang lain. Orang
lain menjadi patner atau sesama yang hadir untuk menyelesaikan suatu pekerjaan.
Dodo masuk dalam konteks ini. Namun dodo bukan sekar kerja sama. Dodo lebih
merujuk pada sistem kerja balas jasa. Misalnya ada lima orang (Nadus, Idus,
Erdus,Bentus dan Retus) yang memiliki lahan untuk menanam sesuatu. Ke lima
orang ini bekerja secara bertahap tergantung dimulai dari mana. Namun hukum
dasar yang berlaku dalam aktivitas dodo
tidak sekedar balas jasa tetapi bernuangsa kekeluargaan.
Nuangsa
kekeluargaan dalam aktivitas Dodo menjadi
perhatian tiap-tiap orang. Memang benar bahwa, masyarakat Manggarai sangat
memperhatikan aspek sosialis. Aspek
sosaial ini sangat kental dan paling hidup dalam seluruh dinamika kehidupan
masyarakat Manggarai. Itu berarti dodo
bukan sebatas bekerja. Ia melampaui kerja itu sendiri. Dodo juga mencakup
hakekat hidup manusia. Hakekat hidup itu misalnya adalah sikap peduli dan adanya sikap saling tolong
menolong. Kedua sikap ini dilihat sebagai sarana dalam memudahkan masyarakat
Manggarai untuk mengerti mengenai penziarahan. Penziarahan di dunia ini
bukanlah penziarahan hanya dalam konteks aku berpikir. Aku berpikir atau cogito dalam paham Rene Deskartes. Bagi
masyarakat Manggarai cogito belum
menyentuh inti penziarahan. Bagi masyarakat Manggarai penziarahan itu adalah
proses aku yang bertindak. Aku bertidak nampak dalam budaya dodo.
Memang benar bahwa, dodo sangat menentukan penziarahan orang lain. Orang
lain dalam konteks dodo sangat
berpengaruh besar. Kehadirian orang lain menjadi anugerah tersendiri. Dikatakan
demikian, karena keberhasilan atau kegagalan juga tergantung sejauh mana ia
melibatkan diri dalam masyarakat.
Orang
lain di sini mengacu pada lyan. Lyan bukanlah objek yang harus terpisah dari
aku sebagai subjek. Lyan adalah subjek yang berada bersama aku . Antara aku dan lyan tidak terdapat
keterpisahan. Pemahaman inilah yang nampak dalam kehidupan masyarakat
Manggarai. Orang Manggarai menempatkan lyan sebagai aku yang lain atau alter ego. Yang dimaksud dengan aku yang
lain adalah dia yang sama dengan seluruh keakuan. Sehingga lyan sangatlah
pantas ditempatkan pada level yang sama dengan aku. Menempatkan lyan pada level
yang sama dengan aku nampak dalam aktivitas dodo. Aktivitas dodo sungguh
menggarahkan pada pembangunan lyan. Pembangunan lyan tidak lain adalah
membangun integritas dan kematangan kepribadiaan. Kualitas diri lyan adalah
salah satu tujuan dari aktivitas dodo.
Maka
dodo dalam konteks epistemologi adalah terletak pada cirinya yakni sosialis.
Masyarakat sosialis mengajarkan banyak hal untuk perkembangan kehidupan
terutama soal kualitas manusia.
Gereng (Menunggu)
Secara
harafiah gereng berarti menunggu
(Jilis A.J. Verheijen, 1967: 139). Itu berarti gereng merujuk pada suatu
aktivitas. Aktivitas itu adalah aktivitas subjek. Dalam aktivitas ini subjek
berada pada disposisi tidak menentu. Tidak menentu karena aktivitas ini
berhadapan dengan suatu yang belum pasti. Dan ketidakpastiannya dilihat sebagai
suatu beban. Singkat kata gereng atau
menunggu mengandung konsekunesi negatif. Konsekuensi negatif dari aktivitas ini
tidak lain adalah membuat orang merasa lelah. Walaupun demikian aktivitas
gereng juga mengandung nilai-nilai positif. Nilai-nilai positif itu adalah
menyangkut nilai kemanusiaan. Inilah salah satu alasan mengapa orang Manggarai
menempatkan aktivitas ini sebagai aktivitas yang mulia.
Dari
penjelasan di atas kita dapat mengatakan bahwa aktivitas gereng mengadung dua paradigma yang bertentangan sekaligus luas.
Dikatakan luas karena pengunaannya mencakup seluruh tatanan kehidupan manusia.
Dan tergantung bagaimana orang menempatkannya dalam pengunaan kalimat. Beberapa
contoh makna kata gereng bedasarkan konteks kalimat dan berdasarkan aktivitas
kehidupan orang Manggarai.
Ada
percakapan yang berbunyi “Gereng nia ha’u
to’ong” (kamu tunggu dimana sebentar) dan “gereng no’o aku to’ong” (saya tunggu di sini sebentar). Dua kalimat
ini mengambarkan sebuah percakapan. Percakapan yang bernuangsa perencanaan.
Perencanaan itu adalah perencanaan yang pasti dan akan dilaksanakan oleh
keduanya. Itu berarti dalam percakapan ini terjadi apa yang disebut relasi.
Relasi timbal balik dalam aktivitas ini menjadi poin penting. Penting karena
dalam relasi ini terkandung juga beberapa nilai. Nilai yang paling nampak
adalah corporation (kerjasama).
Kerjasama dari kedua belah pihak ini mengambarkan realitas masyarakat Manggarai
yang selalu menjujung tinggi kerja sama. Di sinilah letak nilai kemanusiaan.
Kata
“gereng nia” (tunggu di mana) tidak
lain mengacu pada tempat atau posisi. Dikatakan demikian karena nia dalam bahasa manggarai berarti di
mana. Itu berarti kata “di mana” mengacu pada tempat. Dan pertayaan nia atau di mana selalu membutuhkan sesuatu jawaban yang
pasti. Kepastian yang diaksudkan adalah soal tempat. Sehingga jawaban gereng no’o adalah jawaban yang pasti dari pertayaan “gereng nia”. Sebab gereng
no’o berarti tunggu di sini. Di sini
mengacu mengacu pada tempat yang pasti.
Sedangkan
kalimat lain yang berbunyi “gereng hau
to’ong” adalah ungkapan yang terarah pada sikap destruktif. Dikatakan destruktif
karena mengandung nilai permusuhan yang hendak menjatuhkan atau melukai orang
lain. Itu berarti kalimat ini memiliki intensitas dendam. Dendam berarti adanya
sikap ingin membalas kesalahan tersebut atau adanya ancaman. Ancaman terhadap
seseorang yang telah membut kesalahan tertentu atau yang telah menyingung atau
melukai hati sesorang. Membalas berarti orang tersebut berada pada disposisi
yang salah. Dikatakan demikin karena membalas kejahatan dengan kejahatan adalah
ungkapan kebinatangan dalam diri manusia “dehumanisasi”.
Membuat manusia tidak manusiawi. Masyarakat Manggrai juga sering jatuh pada model
hidup hidup seperti ini. Presentase akibat dari tindakan semacam ini sangat
besar dan snagat sulit untuk dikendalikan secara cepat. Dari dua kalimat di
atas dapat disimpulkan bahwa kata gereng
bermakna ganda seperti dua kalimat di atas. Makna ganda dari kata ini
menunjukan bahwa budaya Manggarai kaya akan nilai budaya terutama dari sudut
bahasa. Bahasa manggarai kalau dipelajari sangat sulit, alasannya adalah
memiliki makna ganda. Memang tidak semua kata memiliki makna ganda.
Rujukan:
Jilis.
A. J. Verheijen. Kamus Manggarai-Indonesia. Tanpa kota terbit: Koninklijk Instituut
Voor Taal Land En Volkenkunde. 1967
Tidak ada komentar:
Posting Komentar