Senin, 05 Maret 2018

Epistemologi Budaya Manggarai


Telaah Epistemologi dalam Budaya Manggarai

(Mendengar,  Berbicara, Menunggu dan Gotong Royong”)


Senget (Mendengar)

Senget secara harafiah berarti mendengar. Dalam budaya manggarai Senget selalu dalam konteks aku engkau. Dalam relasi aku engkau, senget menjadi salah satu aspek dalam berinteraksi. Hal ini juga menekankan soal kedirian manusia itu sendiri yakni sebagai mahkluk sosial (homosocial). Dengan kata lain aspek sosial manusia juga terwujud dalam budaya senget orang Manggarai. Orang Manggarai memaknai kata sengget tidak hanya sebagai medium dalam berinteraksi. Orang Manggarai menempatkan kata senget dalam konteks yang lebih luas. Yang saya maksudkan luas adalah soal bagaimana kata sengget itu dimaknai. Senget bisa merujuk sebagai sarana dalam memahami, mengerti dan mendidik.

Pertama adalah memahami. Memahami yang dimaksudkan dalam kata senget nampak ketika seseorang berhadapan dengan wejangan atau nasihat. Ambil contoh ketika seorang anak membuat kesalahan tentu orang tua akan mendidiknya. Dalam aktivitas mendidik itu antara orang tua dan anak terjadi subuah interaksi. Dalam interaksi itu orangtua berada pada posisi mendidik. Sedangkan pihak yang mendengar adalah anak. Biasanya mendengar menjadi pilihan utama dari seorang anak. Ia mendengar apa yang menjadi nasihat dari orang tuanya. Dalam budaya Manggarai mendengar berarti harus memahami. Seorang anak dituntut untuk memahami apa yang menjadi wejangan atau nasihat dari orang tuanya. Itu berarti mendengar (senget) mengandung dimensi epistemologi yakni memahami. Yang dimaksudkan dengan memahami adalah mengetahui isi dari nasehat itu.

Kedua adalah mengerti. Mengerti dalam kata senget tidak lain juga berarti memahami. Memahami mengenai apa yang dibicarakan oleh lawan bicara. Mengerti dalam arti kata senget juga semacam menjadi syarat utama dalam berkomunikasi. Mengapa demikian? Alasan yang paling fundamental adalah supaya dalam komunikasi  itu berjalan dengan lancar. Artinya bahwa senget selalu menjadi langkah awal dalam memahami isi komunikasi lisan.

Ketiga adalah mendidik. Mendidik juga menjadi bagian dari pemahaman kata senget. Korelasi keduanya tidak jauh berbeda dengan kata memahami dan mengerti. Mendidik yang dimaksudkan dalam kata sengget terletak pada fungsinya. Artinya ketika seorang berada dalam aktivitas senget, ia juga berada pada proses edukatif. Proses edukatif itu tidak lain adalah mendidik. Mendidik yang berbasis karakter. Berbasis karakter yang dimaksudkan adalah soal integritas diri yang matang. Apalagi menjadi manusia berkarakter adalah tujuan penziarahan masyarakat Manggarai.

Itu berarti bahwa aktivitas senget mengandung aspek eduakitf yang luar biasa. Aspek edukatif ini semacam menjadi warna dasar dari aktivitas senget. Memang kelihatan sederhana dan bahkan kebanyakan orang tidak menggapnya sebagai medium dalam memanusiakan manusia. Tetapi sadar atau tidak sadar manusia juga dibentuk oleh aktivitas ini termasuk  masyarakat Manggarai.  Potensialitas dalam memanusiakan manusia dalam aktivitas senget sangatlah besar. Artinya bahwa adanya suatu peralihan dari manusia yang “berada” menjadi “mengada”. Berada yang saya maksudkan adalah manusia yang belum merealisasikan potensi yang ada dalam dirinya. Sedangkan “mengada” tidak lain adalah manusia yang sudah teraktualisasikan potensi yang dalam dirinya.  Dengan demikian senget masuk dalam kategori pedagogis. Saya mengatakan ini karena aktivitas senget menjadi bagian dari aktivitas pendidikan. Kita tahu bahwa fungsi dasar pendidikan adalah memanusiakan manusia atau humanitas. Menjadikan manusia dari sekedar “berada” menjadi “mengada”. Ketika aktivitas senget masuk dalam kategori pedagogi, masyarakat Manggarai semakin mengerti apa artinya bermasyarakat.

Torok (Berbicara)

Secara harafiah torok berarti berbicara (Jilis A.J. Verheijen, 1967: 656). Kata torok ini berbeda dengan kata tombo, turuk atau ganda yang juga berarti berbicara, bukan pula sebagai sinonim. Tombo atau ganda (berbicara) secara khusus merujuk pada aktivitas percakapan manusia sehari-hari. Itu berarti Perbedaannya terletak pada konteks dan isi pembicaraan. Torok selalu dalam konteks yang sangat khusus yakni hanya dipakai dalam upacara adat yang bernuansa resmi sekaligus “sakral”. Dikatakan demikian kerena torok menjadi “ritus” dalam hubungan dengan  sesama maupun dengan para leluhur. Torok sebagai sebuah “ritus” yang “sakral” berarti sebagai sesuatu yang esensial.

Bagi masyarakat Manggarai budaya torok menjadi hal paling penting dalam membagun sebuah relasi dan berkomunikasi, baik relasi dengan sesama maupun dengan para leluhur. Dalam relasi dengan sesama torok berfungsi sebagai cara yang paling formal dan santun. Acara ini terutama  dalam melaksanakan upacara meriah seperti acara tiba meka (terima tamu). Dalam acara terima tamu ini orang Manggarai biasanya menggunakan bahasa yang puitis yang bernuansa kekelurgaan. Tujuannya adalah supaya para tamu tidak merasa minder melainkan merasa nyaman (at home) dengan warga masyarakat. Dan dalam upacara torok ini bahasa simbolis yang digunakan adalah tuak (bir) dan manuk (ayam). Kedua hal ini (tuak dan manuk) memiliki makna khusus bagi orang Manggarai. Tuak  sebagai lambang untuk melepaskan dahaga bagi para tamu sedangkan manuk sebagai hewan korban untuk hidangan. Lebih dari pada itu menunjukan bahwa tamu diterima dengan sepenuh hati oleh masyarakat kampung tersebut. Karena kedudukan yang begitu penting sehingga hanya orang yang mengerti tentang adat yang bisa melakukannya. Bisanya yang melakukan torok adalah tu’a golo kepala kampung atau yang mewakili. Perlu diketahui bahwa kepala kampung ini memiliki kharisma khusus dalam menjalankan tugas ini.

Torok pada dasarnya berdimensi luas. Luas kerena torok menjadi upacara pembuka untuk setiap acara adat yang lain. Itu berarti torok harus sesuai dengan upacara yang dilakukan. Misalnya dalam hubungan antara manusia ada namanya torok tiba meka (terima tamu)  dan torok baro sala (minta maaf). Torok tiba meka dan torok baro sala itu berbeda isinya. Namun keduanya bagi orang Manggarai memiliki unsur sosietas. Dengan demikian torok secara tersirat mengambarkan masyarakat Manggarai yang terbuka.

Sedangkan konteks torok dalam relasi dengan para leluhur menjadi upacara yang sakral. Sakral yang saya maksudkan adalah soal pola relasi yang dibagun. Kita ketahui bahwa pola relasi dengan para leluhur tidak sama dengan pola relasi dengan sesama. Konsekuensinya adalah orang Manggarai melakukannya dengan penuh parhatian. Mengapa demikian? karena dalam konsep orang Manggarai para arwah memiliki pangaruh yang sangat besar dalam kehidupan mereka. Mereka mengangap bahwa para arwah bisa berbuat sesuatu kepada mereka,  entah itu hal yang baik maupun yang buruk. Hal yang baik misalnya mendapat hasil panen yang melimpah atau mengalami penyembuhan dari penyakit yang berat. Sedangkan hal yang buruk misalnya adanya kematian atau malapetaka. Hal  ini memang sungguh terjadi. Itu berarti, para leluhur memiliki kedudukan yang penting dalam dinamika kehidupan masyarakat Manggarai. Dalam upacara torok itu orang Manggarai mengunakan telor ayam kampung sebagai ganti bir. Telor ini sebagai sesajian awal, yang berfungsi untuk mengundang mereka. Kehadiran mereka sangat penting dalam melaksanakan suatu kegiatan adat.

Maka Torok dalam kaca mata pengetahuan berdimensi luas. Luas karena meyentuh seluruh dinamika kehidupan manusia. Di sana kita menemukan apa yang disebut cinta, penghargaan dan relasi. Sehingga tidaklah salah kalau  budaya ini menjadi “itu” yang hidup. Sebab dari sana jugalah orang Manggarai membangun cara hidup dalam bermasyarakat. Membangun masyarakat yang harmonis dan aman. 

Dodo (Bergotong Royong)

Secara harafiah dodo berarti bertolong-tolong (Jilis A.J. Verheijen, 1967: 86). Bertolong-tolong dalam konteks budaya Manggarai merujuk pada aktivitas kerja. Itu berarti dodo berarti bekerja seperti berkebun. Berkebun bagi masyarakat Manggarai menjadi habitus. Dikatakan demikian, karena  masyarakat Manggarai didominasi oleh masyarakat agraris. Konsekuensinya adalah tanah menjadi tempat untuk mencari nafkah. Dan bagi orang Manggarai tanah adalah harta karun. Harta karun ini selalu dijaga karena dianggap sebagai jiwa dari para leluhur lalu kemudian dikelola.

Tanah dikelola dengan maksud untuk mendatangkan sesuatu yang berguna bagi kehidupan. Tidak seperti masyarakat kapitalis atau industri yang mendapatkan segala sesuatu dengan mudah. Masyarakat Manggarai yang merupakan masyarakat agraris, mendatangkan segala sesuatu dari tanah. Bagaimana mereka mendatangkannya? Mereka mendatangkan atau memproleh kebutuhan itu dengan bekerja. Dan dalam mengelola tanah itu masyarakat Manggarai selalu bekerja sama. Artinya dalam membuka lahan, menanam dan memanen sesutu selalu melibatkan orang lain. Orang lain menjadi patner atau sesama yang hadir untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Dodo masuk dalam konteks ini. Namun dodo bukan sekar kerja sama. Dodo lebih merujuk pada sistem kerja balas jasa. Misalnya ada lima orang (Nadus, Idus, Erdus,Bentus dan Retus) yang memiliki lahan untuk menanam sesuatu. Ke lima orang ini bekerja secara bertahap tergantung dimulai dari mana. Namun hukum dasar yang berlaku dalam aktivitas dodo tidak sekedar balas jasa tetapi bernuangsa kekeluargaan.

Nuangsa kekeluargaan dalam aktivitas Dodo menjadi perhatian tiap-tiap orang. Memang benar bahwa, masyarakat Manggarai sangat memperhatikan aspek  sosialis. Aspek sosaial ini sangat kental dan paling hidup dalam seluruh dinamika kehidupan masyarakat Manggarai. Itu berarti dodo bukan sebatas bekerja. Ia melampaui kerja itu sendiri. Dodo juga mencakup hakekat hidup manusia. Hakekat hidup itu misalnya adalah sikap  peduli dan adanya sikap saling tolong menolong. Kedua sikap ini dilihat sebagai sarana dalam memudahkan masyarakat Manggarai untuk mengerti mengenai penziarahan. Penziarahan di dunia ini bukanlah penziarahan hanya dalam konteks aku berpikir. Aku berpikir atau cogito dalam paham Rene Deskartes. Bagi masyarakat Manggarai cogito belum menyentuh inti penziarahan. Bagi masyarakat Manggarai penziarahan itu adalah proses aku yang bertindak. Aku bertidak nampak dalam budaya dodo.  Memang benar bahwa, dodo sangat menentukan penziarahan orang lain. Orang lain dalam konteks dodo sangat berpengaruh besar. Kehadirian orang lain menjadi anugerah tersendiri. Dikatakan demikian, karena keberhasilan atau kegagalan juga tergantung sejauh mana ia melibatkan diri dalam masyarakat.

Orang lain di sini mengacu pada lyan. Lyan bukanlah objek yang harus terpisah dari aku sebagai subjek. Lyan adalah subjek yang berada bersama aku  . Antara aku dan lyan tidak terdapat keterpisahan. Pemahaman inilah yang nampak dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Orang Manggarai menempatkan lyan sebagai aku yang lain atau alter ego. Yang dimaksud dengan aku yang lain adalah dia yang sama dengan seluruh keakuan. Sehingga lyan sangatlah pantas ditempatkan pada level yang sama dengan aku. Menempatkan lyan pada level yang sama dengan aku nampak dalam aktivitas dodo. Aktivitas dodo sungguh menggarahkan pada pembangunan lyan. Pembangunan lyan tidak lain adalah membangun integritas dan kematangan kepribadiaan. Kualitas diri lyan adalah salah satu tujuan dari aktivitas dodo.

Maka dodo dalam konteks epistemologi adalah terletak pada cirinya yakni sosialis. Masyarakat sosialis mengajarkan banyak hal untuk perkembangan kehidupan terutama soal kualitas manusia.

Gereng (Menunggu)

Secara harafiah gereng berarti menunggu (Jilis A.J. Verheijen, 1967: 139). Itu berarti gereng merujuk pada suatu aktivitas. Aktivitas itu adalah aktivitas subjek. Dalam aktivitas ini subjek berada pada disposisi tidak menentu. Tidak menentu karena aktivitas ini berhadapan dengan suatu yang belum pasti. Dan ketidakpastiannya dilihat sebagai suatu beban. Singkat kata gereng atau menunggu mengandung konsekunesi negatif. Konsekuensi negatif dari aktivitas ini tidak lain adalah membuat orang merasa lelah. Walaupun demikian aktivitas gereng juga mengandung nilai-nilai positif. Nilai-nilai positif itu adalah menyangkut nilai kemanusiaan. Inilah salah satu alasan mengapa orang Manggarai menempatkan aktivitas ini sebagai aktivitas yang  mulia.

Dari penjelasan di atas kita dapat mengatakan bahwa aktivitas gereng mengadung dua paradigma yang bertentangan sekaligus luas. Dikatakan luas karena pengunaannya mencakup seluruh tatanan kehidupan manusia. Dan tergantung bagaimana orang menempatkannya dalam pengunaan kalimat. Beberapa contoh makna kata gereng bedasarkan konteks kalimat dan berdasarkan aktivitas kehidupan orang Manggarai.

Ada percakapan yang berbunyi “Gereng nia ha’u to’ong” (kamu tunggu dimana sebentar) dan “gereng no’o aku to’ong” (saya tunggu di sini sebentar). Dua kalimat ini mengambarkan sebuah percakapan. Percakapan yang bernuangsa perencanaan. Perencanaan itu adalah perencanaan yang pasti dan akan dilaksanakan oleh keduanya. Itu berarti dalam percakapan ini terjadi apa yang disebut relasi. Relasi timbal balik dalam aktivitas ini menjadi poin penting. Penting karena dalam relasi ini terkandung juga beberapa nilai. Nilai yang paling nampak adalah corporation (kerjasama). Kerjasama dari kedua belah pihak ini mengambarkan realitas masyarakat Manggarai yang selalu menjujung tinggi kerja sama. Di sinilah letak nilai kemanusiaan.

Kata “gereng nia” (tunggu di mana) tidak lain mengacu pada tempat atau posisi. Dikatakan demikian karena nia dalam bahasa manggarai berarti di mana. Itu berarti kata “di mana” mengacu pada tempat. Dan pertayaan nia atau di  mana selalu membutuhkan sesuatu jawaban yang pasti. Kepastian yang diaksudkan adalah soal tempat.  Sehingga jawaban gereng no’o adalah jawaban yang pasti dari pertayaan “gereng nia”.  Sebab gereng no’o  berarti tunggu di sini. Di sini mengacu mengacu pada tempat yang pasti.

Sedangkan kalimat lain yang berbunyi “gereng hau to’ong” adalah ungkapan yang terarah pada sikap destruktif. Dikatakan destruktif karena mengandung nilai permusuhan yang hendak menjatuhkan atau melukai orang lain. Itu berarti kalimat ini memiliki intensitas dendam. Dendam berarti adanya sikap ingin membalas kesalahan tersebut atau adanya ancaman. Ancaman terhadap seseorang yang telah membut kesalahan tertentu atau yang telah menyingung atau melukai hati sesorang. Membalas berarti orang tersebut berada pada disposisi yang salah. Dikatakan demikin karena membalas kejahatan dengan kejahatan adalah ungkapan kebinatangan dalam diri manusia “dehumanisasi”. Membuat manusia tidak manusiawi. Masyarakat Manggrai juga sering jatuh pada model hidup hidup seperti ini. Presentase akibat dari tindakan semacam ini sangat besar dan snagat sulit untuk dikendalikan secara cepat. Dari dua kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa kata gereng bermakna ganda seperti dua kalimat di atas. Makna ganda dari kata ini menunjukan bahwa budaya Manggarai kaya akan nilai budaya terutama dari sudut bahasa. Bahasa manggarai kalau dipelajari sangat sulit, alasannya adalah memiliki makna ganda. Memang tidak semua kata memiliki makna ganda.

Rujukan: Jilis. A. J. Verheijen.  Kamus Manggarai-Indonesia. Tanpa kota terbit: Koninklijk Instituut Voor Taal Land En Volkenkunde. 1967




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI (CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MA...