Metafisika Aristoteles:
Pengantar
Watu
timbang raung adalah nama dari sebuah gunung batu.
Gunung ini terletak di desa Rego kabupaten Manggarai Barat. Masyarakat Rego mengamini
bahwa tempat ini berawal dari sebuah mitos. Mitos yang menggambarkan relasi
sosial yang destruktif antara sang Dalu
(orang kaya) dengan Marta. Dikatakan destruktif karena relasi itu hanya menguntungkan sebelah pihak.
Ketidakmanusiawian dalam
relasi itu nampak ketika sang Dalu menyalahgunakan
ketakberdayaan kelurga Marta. Perlu diketahui bahwa keluarga Marta berhutang pada Dalu. Utang itu menjadi jalan bagi Dalu untuk menikahi Marta. Ia memanfaatkan ketidakberdayaan keluarga
Marta untuk mengejar keegoannya. Itu berarti sesama dilihat sebagai objek. Menempatkan sesama sebagai objek berarti
merendahkan martabat manusia. Sebenarnya orang lain bukanlah pribadi yang
terpisah dari aku, sebab hakekat manusia adalah mahkluk sosial. Itu berarti
relasi yang dibangun haruslah bersifat konstruktif.
Isi
Marta adalah gadis desa yang berparas cantik, berhati
lembut, dan sederhana. Ia satu-satunya anak dari pasangan bapa Yohanes dan ibu Elis.
Keluarga kecil ini adalah kelurga yang yang sangat sederhana. Kesederhanaan itu
tanpak dalam keseharian hidup mereka. Kalau
boleh dikata mereka berada dalam kasta ekonomi yang paling rendah. Inilah yang
kemudian menjadi alasan mengapa Marta tidak menempuh pendidikan. Walaupun demikian,
orangtuanya mendidik dan mengajarinya menjadi seorang anak yang mandiri, bertanggung
jawab dan pekerja keras.
Marta bertumbuh sebagai seorang gadis yang
berkualitas dan dewasa. Kualiatas hidup itu ia hidupi dalam relasinya dengan
teman-teman. Selain kepada teman-teman ia juga menunjukkan kepada tunagannya.
Namanya Silas. Ia adalah seorang laki-laki yang sopan, pendiam, sederhana,
rendah hati dan pekerja keras. Tentu Marta sangat mencintainya. Selain itu, Marta sangat mengharapkan bahwa dalam waktu
dekat mereka akan tinggal bersama sebagai sebuah keluarga baru. Harapan ini
bukan menjadi satu kebahagiaan bagi orang tuanya. Alasannya mereka belum mampu
melepaskan Marta. Pada titik inilah Marta berada pada disposisi tidak
menentu. Walaupun demikian, Marta tidak
berpasrah. Ia terus berdoa meminta kemurahan dari kedua orang tuanya. Apalagi
ia sangat mencintai mereka. Ia berbangga memiliki ayah dan ibu yang bertanggung
jawab. Bagaimana tidak, sepanjang hari mereka berkebun untuk mencari sesuap
nasi. Dan hanya pada malam hari mereka menenangkan diri memulihkan tenaga yang
sudah terkuras.
Sebagai satu keluarga
yang miskin, tentu tidak cukup bagi mereka dengan berkebun untuk mencari
nafkah. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah untuk bisa bertahan hidup adalah
dengan meminjamkan uang pada seorang dalu
(kepala desa). Ia adalah seorang yang kaya raya, memiliki banyak hewan
piaraan, banyak kebun dan hasil bumi, namun tidak beristri. Kekayaan yang ia
miliki semata-mata hanya untuk bersenang-senang. Orang juga juga sering
memanggilnya “kakek mandul” dalam arti tidak laku di kalangan wanita. Walaupun
demikian ia masih memiliki hasrat untuk memiliki seorang isteri. Ia juga mengangap dirinya sebagai orang yang muda, tampan dan menarik yang walaupun ia sudah berumur 60-an tahun.
Dari hari ke hari ia
selalu mencari cara untuk mendapatkan pasangan hidup. Dan satu-satunya gadis
yang paling ia sukai adalah Marta. Baginya marta adalah segala-galanya.
Sehingga tidak salah kalau ia selalu menggodai Marta. Marta sama sekali tidak
menyukainya. Apa yang dilakukan dalu
ini bukan sesuatu yang sia-sia. Mengapa demikian? Sebab kelurga marta
bertahun-tahun meminjamkan uang padanya. Dan belum sepeser pun yang telah
dikembalikan. Itu berarti kelurga Marta berutang sangat besar pada dalu. Ia memanfaatkan situasi yang
paling kritis ini. Tentu ia tahu bahwa kelurga marta adalah kelurga yang paling
miskin yang mungkin tidak bisa mengembalikan uangnya.
Ini
kesempatan yang paling tampan baginya
untuk memiliki Marta. Sehingga pada satu hari ia bertamu ke rumah Marta. Tentu sesuatu
yang mengagetkan bagi kelurga Marta, sebab baru pertama kali ia menginjakkan
kaki di rumah itu. Kehadiraannya membawa suatu kecemasan besar bagi mereka. Dan
memang benar bahwa seketika ia sampai di rumah Marta ia langsung mendesak mereka
untuk melunasi utangnya. Untuk diketahui bahwa jumlah uang yang dipinjam
sebesar Rp.100,00 dan kalau dibandingkan sekarang ini mungkin mencapai angka
ratusan juta. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ia tidak menerima tanah atau
hewan piaraan sebagai pengantinnya. Ini sungguh menyakitkan bagi keluarga
Marta. Menyakitkan karena tidak ada kompromi dan dialog. Yang ada hanyalah
kepatuhan layaknya seorang budak dengan
sang majikan.
Pada
saat yang sama ia memberi dua opsi pilihan, yang pertama mengembalikan uang itu
sekarang juga atau membiarkan ia menikahi Marta. Tentu dua pilihan ini sangat
sulit untuk diterima. Karena terlalu berat bagi bapak Yohanes maka ia mencoba
meminta belaskasih dari sang dalu(
kepala desa)” Tuan biarkan aku menjadi hambamu, asalkan engkau jangan menikahi
putriku sebab ia sudah memiliki tunangan”....sahut bapak Yohanes dengan
tersedu-sedu. Apa katamu menjadi hamba. Tidak...tidak...tidak, aku memiliki
banyak hamba, apalagi aku tidak membutuhkannya “kata sang dalu”. lebih lanjut
ia mengatakan “ sangkamu aku ini seorang yang murah hati atau lemah lembut . Aku berkata kepadamu aku haus akan cinta,,,,
aku haus dengan seorang wanita. Sudah bertahun-tahun aku menderita dalam
kesendirian.
Suasana rumah itu sangat
mencekam seolah-olah dunia kematian sudah tiba. Bapak Yohanes semakin
menderita, sebab anaknya tidak memiliki harapan. Keputusan telah diambil bahwa,
Marta akan menjadi istri sang dalu.
Sang dalu sangat senang dengan
keputusan ini. Dan dalam perencanaan, ia akan mengambil Marta dua hari yang
akan datang. Keluarga Marta tidak mampu berbuat apa-apa selain menerima
kenyataan ini. Mengenai Marta sendiri ia tidak merasa terkejut dengan keputusan
itu sebab ia telah mengetahui jauh-jauh hari sebelumnya.
Suatu
yang tidak diduga, keesokan harinya pagi-pagi buta Marta memberitahukan kepada
bapaknya bahwa, jika dalu ingin mengambil aku silahkan pergi
ke kebun di sanalah aku menunggu. Bapak Yohanes mengiakan apa yang dikatakan Marta
ini. Dan ia tidak menduga sesuatu pun akan terjadi pada Marta. Marta dengan
tergesa-gesa berlari ke kebun itu. Ia membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai
ke sana. Di sana ada yang namanya nampar atau
pongkor (tebing yang berbatu). Marta
memberanikan diri memanjat tebing itu. Setelah
ia berhasil memanjat tebing itu, sejenak ia menenangkan diri lalu melihat
pandangan di sekitarnya. Dari kejauhan Marta melihat segerombolan orang menuju
kebun itu. Ia menangis tersedu-sedu sebab ia tahu bahwa maut sudah
menjemputnya. Ia melihat kedua orang tuanya dan kelurga sang dalu.
Beberapa waktu kemudian Marta mendenga suara suara sang dalu. Marta.,Marta.,Marta di manakah engkau?
Sahut sang dalu (kepala desa). Marta
menjawab dengan suara tersendat-sendat ,,, di sini aku tuan. Dan sekarang aku ingin melunasi
utang keluargaku dengan memberikan diri kepadamu. Sekarang aku sudah menjadi
milikmu. Setelah mengatakan demikian Marta memenjamkan mata dan menjatuhkan
diri ke tebing itu. Kematian Marta menjadi peristiwa yang menakjupkan untuk
orang Rego. Ia meninggalkan sejuta kedukaan bagi kedua orang tuanya. Dalu
kehilangan harapan. Dan pada akhirnya dalam nada kekecewan ia bersikap murah
hati kepada kelurga korban. Tentu tidak bijak sama sekali kemurahan hati sang dalu ini sebab kemurahan hatinya tidak
membawa berkat melainkan suatu konflik baru. Singkat cerita ia terlambat
bersikap bijak terhadap keluga Marta. Ia pun mati, karena kejadian itu selalu
menggerogotinya. Ia mati dengan cara yang sama yakni bunuh diri. “ karena
kejadian inilah tempat itu diberi nama Watu
Timbang Raung”.
Metafisika Aristoteles
Metode kritis dalam mengulas mitos ini adalah pemikiran
Aristoteles tentang etika.
Prinsip
dasar etika Aristoteles adalah hidup atau tindakan manusia yang terarah pada
kebaikkan[1]. Kebaikan itu pada
akhirnya mencapai kebahagiaan. Dan Kebahagian menjadi tujaun akhir hidup
manusia. Namun seringkali manusia jatuh pada pemahaman yang salah mengenai
kebahagiaan. Ada yang mengkriteriakan kebahagiaan itu dalam beberapa hal
seperti memiliki harta yang banyak, mempunyai makanan yang lezat, memiliki
suami yang tampan, isteri yang cantik atau memiliki gelar dan kekusaan. Singkat
kata kebahagian itu adalah soal kenikmatan. Tentu ini bukanlah kriteria atau
pola kebahagaian yang sebenarnya. Mengapa demikian? Sebab kriteria atau pola
hidup yang terarah pada kenikmatan sifatnya terbatas. Aristoteles membuktikan,
mengapa kenikmatan bukanlah kriteria kebahagiaan. Pertama, kenikmatan itu tidak
baik. Kedua, ada bebrapa kenikmatan dikategorikan baik, namun sebagian besar
buruk. Ketiga, kenikmatan itu baik, namun bukan yang terbaik[2]. Lalu bagaimana kebahagian
itu dicapai?
Aristoteles menawarkan dua pola hidup untuk sampai
pada kebahagian yang sebenarnya. Dua pola hidup itu adalah berpartisipasi dalam
polis dan berfilsafat. Hidup dalam polis yang dimaksudkan adalah adanya keterlibatan sosial. Dikatakan
demikian karena manusia pada hakekatnya adalah zoon politikon. Ia sangat bergantung pada kehadiraan orang lain. Sedangkan
berfilsafat mangarahkan manusia pada realitas yang melampaui dirinya. Ia tidak
terpesona oleh hal-hal yang lahiriah-indrawai. Akhirnya etika Aristoteles
merujuk pada spirit persahabatan. Persahabatan mengungkapkan kodrat manusia itu
sendiri. Manusia tidak pernah memilih tanpa sahabat. Alasan mendasarnya adalah persahabatan menjadi
tindakan khas manusiawai dan menghantar manusia pada kebahagiaan.
Mitos di atas telah
menampilkan suatu kehidupan sosial. Kehidupan manusia yang belum masuk pada
ranah etika. Pola hidup yang ditunjukkan adalah ambisi dan kesombongan. Ketika
kesombongan mengatas namai kehidupan etika kehilangan makna. Etika menjadi kabur takkala sang dalu bersikap ego terhadap Marta.
Keegoannya memperlihatkan bahwa ia tidak memiliki orientasi yang jelas dalam
penjiarahan hidupnya. Ia belum mengenal apa itu kebaikan dan kebahagiaan dalam
persahabatan. Yang ia pahami hanyalah kenikmatan. Ketika sang dalu memposisikan diri sebagai “aku yang
mengejar nikmat” Marta kehilangan daya hidup. Memang benar bahwa Marta
kehilangan “the power of live” sebab dulu menempatkan kenikmatan itu dalam
diri Marta. Singkat kata Marta menjadi objek kenikmatan sang dalu.
Maka disposisi Marta pada satu sisi adalah sebagai Liyan. Liyan berarti
orang yang terpinggirkan, terbuang dan sebagai objek[3]. Di sinilah metafisika Aristoteles hadir. Hadir
untuk mengkritisi sekaligus mengembalikan arti yang sebenarnya tentang
kehidpuan sosial. Betapa pentingnya etika dalam kehidupan sosial.
Penutup
Hidup manusia
adalah sebuah seni. Seni menciptakan makna hidup. Ketika manusia telah
menemukan makna hidup, dengan sendirinya ia mencapai kebahagiaan. Tetapi untuk
sampai pada kebahagian itu manusia membutuh sebuah pola hidup. Salah satu pola
hidup yang mendukung adalah etika. Manusia yang hidup berdasarkan etika akan
menemukan makna hidupnya. Dan dengan mudah mencapai kebahagiaan yang sempuna. Itu
berarti kebahagiaan sempurna tidak ditemukan dalam harta kekayaan, makanan yang
enak, suami yang ganteng dan isteri yang cantik. Kebahagiaan itu ada ketika
manusia mempu menciptakan kebaikan. Dalam metafisika Aristoteles, kebaikan
adalah sumber kebahagiaan.
Daftar
Pustaka
Pandor, Pius. Seni
Merawat Jiwa, Jakarta: Obor, 2014.
Russell, Bertrand. Sejarah
Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Riyanto, Armada. Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana Publication, 2011.
[1] Pius Pandor, Seni Merawat Jiwa, Jakarta: Obor, 2014. Hal. 15.
[2] Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Hal. 243.
[3] Armada Riyanto, Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana
Publication, 2011. Hal. 96.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar