Jumat, 02 Maret 2018

etika aristoteles



Metafisika Aristoteles:
Tinjaun Kritis terhadap Mitos Watu Timbang Raung 

Pengantar
Watu timbang raung adalah nama dari sebuah gunung batu. Gunung ini terletak di desa Rego kabupaten Manggarai Barat. Masyarakat Rego mengamini bahwa tempat ini berawal dari sebuah mitos. Mitos yang menggambarkan relasi sosial yang destruktif antara sang Dalu (orang kaya) dengan Marta. Dikatakan destruktif karena relasi itu  hanya menguntungkan sebelah pihak.  
Ketidakmanusiawian dalam relasi itu nampak ketika sang Dalu menyalahgunakan ketakberdayaan kelurga Marta. Perlu diketahui bahwa keluarga Marta berhutang pada Dalu. Utang itu menjadi jalan bagi Dalu untuk menikahi Marta. Ia memanfaatkan ketidakberdayaan keluarga Marta untuk mengejar keegoannya. Itu berarti sesama dilihat sebagai objek.  Menempatkan sesama sebagai objek berarti merendahkan martabat manusia. Sebenarnya orang lain bukanlah pribadi yang terpisah dari aku, sebab hakekat manusia adalah mahkluk sosial. Itu berarti relasi yang dibangun haruslah bersifat konstruktif.
Isi
 Marta adalah gadis desa yang berparas cantik, berhati lembut, dan sederhana. Ia satu-satunya anak dari pasangan bapa Yohanes dan ibu Elis. Keluarga kecil ini adalah kelurga yang yang sangat sederhana. Kesederhanaan itu tanpak dalam keseharian hidup mereka.  Kalau boleh dikata mereka berada dalam kasta ekonomi yang paling rendah. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa Marta tidak menempuh pendidikan. Walaupun demikian, orangtuanya mendidik dan mengajarinya menjadi seorang anak yang mandiri, bertanggung jawab dan pekerja keras.
             Marta bertumbuh sebagai seorang gadis yang berkualitas dan dewasa. Kualiatas hidup itu ia hidupi dalam relasinya dengan teman-teman. Selain kepada teman-teman ia juga menunjukkan kepada tunagannya. Namanya Silas. Ia adalah seorang laki-laki yang sopan, pendiam, sederhana, rendah hati dan pekerja keras. Tentu Marta sangat mencintainya. Selain itu,  Marta sangat mengharapkan bahwa dalam waktu dekat mereka akan tinggal bersama sebagai sebuah keluarga baru. Harapan ini bukan menjadi satu kebahagiaan bagi orang tuanya. Alasannya mereka belum mampu melepaskan Marta. Pada titik inilah Marta berada pada disposisi tidak menentu.  Walaupun demikian, Marta tidak berpasrah. Ia terus berdoa meminta kemurahan dari kedua orang tuanya. Apalagi ia sangat mencintai mereka. Ia berbangga memiliki ayah dan ibu yang bertanggung jawab. Bagaimana tidak, sepanjang hari mereka berkebun untuk mencari sesuap nasi. Dan hanya pada malam hari mereka menenangkan diri memulihkan tenaga yang sudah terkuras.
Sebagai satu keluarga yang miskin, tentu tidak cukup bagi mereka dengan berkebun untuk mencari nafkah. Satu-satunya jalan bagi mereka adalah untuk bisa bertahan hidup adalah dengan meminjamkan uang pada seorang dalu (kepala desa). Ia adalah seorang yang kaya raya, memiliki banyak hewan piaraan, banyak kebun dan hasil bumi, namun tidak beristri. Kekayaan yang ia miliki semata-mata hanya untuk bersenang-senang. Orang juga juga sering memanggilnya “kakek mandul” dalam arti tidak laku di kalangan wanita. Walaupun demikian ia masih memiliki hasrat untuk memiliki seorang isteri.  Ia juga mengangap dirinya sebagai orang yang  muda, tampan dan menarik yang walaupun  ia sudah berumur 60-an tahun.
Dari hari ke hari ia selalu mencari cara untuk mendapatkan pasangan hidup. Dan satu-satunya gadis yang paling ia sukai adalah Marta. Baginya marta adalah segala-galanya. Sehingga tidak salah kalau ia selalu menggodai Marta. Marta sama sekali tidak menyukainya. Apa yang dilakukan dalu ini bukan sesuatu yang sia-sia. Mengapa demikian? Sebab kelurga marta bertahun-tahun meminjamkan uang padanya. Dan belum sepeser pun yang telah dikembalikan. Itu berarti kelurga Marta berutang sangat besar pada dalu. Ia memanfaatkan situasi yang paling kritis ini. Tentu ia tahu bahwa kelurga marta adalah kelurga yang paling miskin yang mungkin tidak bisa mengembalikan uangnya.
            Ini kesempatan yang paling  tampan baginya untuk memiliki Marta. Sehingga pada satu hari ia bertamu ke rumah Marta. Tentu sesuatu yang mengagetkan bagi kelurga Marta, sebab baru pertama kali ia menginjakkan kaki di rumah itu. Kehadiraannya membawa suatu kecemasan besar bagi mereka. Dan memang benar bahwa seketika ia sampai di rumah Marta ia langsung mendesak mereka untuk melunasi utangnya. Untuk diketahui bahwa jumlah uang yang dipinjam sebesar Rp.100,00 dan kalau dibandingkan sekarang ini mungkin mencapai angka ratusan juta. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ia tidak menerima tanah atau hewan piaraan sebagai pengantinnya. Ini sungguh menyakitkan bagi keluarga Marta. Menyakitkan karena tidak ada kompromi dan dialog. Yang ada hanyalah kepatuhan layaknya seorang budak  dengan sang majikan.
            Pada saat yang sama ia memberi dua opsi pilihan, yang pertama mengembalikan uang itu sekarang juga atau membiarkan ia menikahi Marta. Tentu dua pilihan ini sangat sulit untuk diterima. Karena terlalu berat bagi bapak Yohanes maka ia mencoba meminta belaskasih dari sang dalu( kepala desa)” Tuan biarkan aku menjadi hambamu, asalkan engkau jangan menikahi putriku sebab ia sudah memiliki tunangan”....sahut bapak Yohanes dengan tersedu-sedu. Apa katamu menjadi hamba. Tidak...tidak...tidak, aku memiliki banyak hamba, apalagi aku tidak membutuhkannya “kata sang dalu”. lebih lanjut ia mengatakan “ sangkamu aku ini seorang yang murah hati atau lemah lembut  . Aku berkata kepadamu aku haus akan cinta,,,, aku haus dengan seorang wanita. Sudah bertahun-tahun aku menderita dalam kesendirian.
Suasana rumah itu sangat mencekam seolah-olah dunia kematian sudah tiba. Bapak Yohanes semakin menderita, sebab anaknya tidak memiliki harapan. Keputusan telah diambil bahwa, Marta akan menjadi istri sang dalu. Sang dalu sangat senang dengan keputusan ini. Dan dalam perencanaan, ia akan mengambil Marta dua hari yang akan datang. Keluarga Marta tidak mampu berbuat apa-apa selain menerima kenyataan ini. Mengenai Marta sendiri ia tidak merasa terkejut dengan keputusan itu sebab ia telah mengetahui jauh-jauh hari sebelumnya.
            Suatu yang tidak diduga, keesokan harinya pagi-pagi buta Marta memberitahukan kepada bapaknya bahwa,  jika dalu ingin mengambil aku silahkan pergi ke kebun di sanalah aku menunggu. Bapak Yohanes mengiakan apa yang dikatakan Marta ini. Dan ia tidak menduga sesuatu pun akan terjadi pada Marta. Marta dengan tergesa-gesa berlari ke kebun itu. Ia membutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke sana. Di sana ada yang namanya nampar atau pongkor (tebing yang berbatu). Marta memberanikan diri memanjat tebing itu.  Setelah ia berhasil memanjat tebing itu, sejenak ia menenangkan diri lalu melihat pandangan di sekitarnya. Dari kejauhan Marta melihat segerombolan orang menuju kebun itu. Ia menangis tersedu-sedu sebab ia tahu bahwa maut sudah menjemputnya. Ia melihat kedua orang tuanya dan kelurga sang dalu.  Beberapa waktu kemudian Marta mendenga suara suara sang dalu. Marta.,Marta.,Marta di manakah engkau? Sahut sang dalu (kepala desa). Marta menjawab dengan suara tersendat-sendat ,,, di sini  aku tuan. Dan sekarang aku ingin melunasi utang keluargaku dengan memberikan diri kepadamu. Sekarang aku sudah menjadi milikmu. Setelah mengatakan demikian Marta memenjamkan mata dan menjatuhkan diri ke tebing itu. Kematian Marta menjadi peristiwa yang menakjupkan untuk orang Rego. Ia meninggalkan sejuta kedukaan bagi kedua orang tuanya.  Dalu kehilangan harapan. Dan pada akhirnya dalam nada kekecewan ia bersikap murah hati kepada kelurga korban. Tentu tidak bijak sama sekali kemurahan hati sang dalu ini sebab kemurahan hatinya tidak membawa berkat melainkan suatu konflik baru. Singkat cerita ia terlambat bersikap bijak terhadap keluga Marta. Ia pun mati, karena kejadian itu selalu menggerogotinya. Ia mati dengan cara yang sama yakni bunuh diri. “ karena kejadian inilah tempat itu diberi nama Watu Timbang Raung.
Metafisika Aristoteles
Metode kritis dalam mengulas mitos ini adalah pemikiran Aristoteles tentang etika. Prinsip dasar etika Aristoteles adalah hidup atau tindakan manusia yang terarah pada kebaikkan[1]. Kebaikan itu pada akhirnya mencapai kebahagiaan. Dan Kebahagian menjadi tujaun akhir hidup manusia. Namun seringkali manusia jatuh pada pemahaman yang salah mengenai kebahagiaan. Ada yang mengkriteriakan kebahagiaan itu dalam beberapa hal seperti memiliki harta yang banyak, mempunyai makanan yang lezat, memiliki suami yang tampan, isteri yang cantik atau memiliki gelar dan kekusaan. Singkat kata kebahagian itu adalah soal kenikmatan. Tentu ini bukanlah kriteria atau pola kebahagaian yang sebenarnya. Mengapa demikian? Sebab kriteria atau pola hidup yang terarah pada kenikmatan sifatnya terbatas. Aristoteles membuktikan, mengapa kenikmatan bukanlah kriteria kebahagiaan. Pertama, kenikmatan itu tidak baik. Kedua, ada bebrapa kenikmatan dikategorikan baik, namun sebagian besar buruk. Ketiga, kenikmatan itu baik, namun bukan yang terbaik[2]. Lalu bagaimana kebahagian itu dicapai?
 Aristoteles menawarkan dua pola hidup untuk sampai pada kebahagian yang sebenarnya. Dua pola hidup itu adalah berpartisipasi dalam polis dan berfilsafat. Hidup dalam polis yang dimaksudkan  adalah adanya keterlibatan sosial. Dikatakan demikian karena manusia pada hakekatnya adalah zoon politikon. Ia sangat bergantung pada kehadiraan orang lain. Sedangkan berfilsafat mangarahkan manusia pada realitas yang melampaui dirinya. Ia tidak terpesona oleh hal-hal yang lahiriah-indrawai. Akhirnya etika Aristoteles merujuk pada spirit persahabatan. Persahabatan mengungkapkan kodrat manusia itu sendiri. Manusia tidak pernah memilih tanpa sahabat.  Alasan mendasarnya adalah persahabatan menjadi tindakan khas manusiawai dan menghantar manusia pada kebahagiaan.
Mitos di atas telah menampilkan suatu kehidupan sosial. Kehidupan manusia yang belum masuk pada ranah etika. Pola hidup yang ditunjukkan adalah ambisi dan kesombongan. Ketika kesombongan mengatas namai kehidupan etika kehilangan makna. Etika  menjadi kabur takkala sang dalu bersikap ego terhadap Marta. Keegoannya memperlihatkan bahwa ia tidak memiliki orientasi yang jelas dalam penjiarahan hidupnya. Ia belum mengenal apa itu kebaikan dan kebahagiaan dalam persahabatan. Yang ia pahami hanyalah kenikmatan. Ketika sang dalu memposisikan diri sebagai “aku yang mengejar nikmat” Marta kehilangan daya hidup. Memang benar bahwa Marta kehilangan “the power of live” sebab dulu menempatkan kenikmatan itu dalam diri Marta. Singkat kata Marta menjadi objek kenikmatan sang dalu.  Maka disposisi Marta pada satu sisi adalah sebagai Liyan. Liyan berarti orang yang terpinggirkan, terbuang dan sebagai objek[3].  Di sinilah metafisika Aristoteles hadir. Hadir untuk mengkritisi sekaligus mengembalikan arti yang sebenarnya tentang kehidpuan sosial. Betapa pentingnya etika dalam kehidupan sosial.
Penutup         
            Hidup manusia adalah sebuah seni. Seni menciptakan makna hidup. Ketika manusia telah menemukan makna hidup, dengan sendirinya ia mencapai kebahagiaan. Tetapi untuk sampai pada kebahagian itu manusia membutuh sebuah pola hidup. Salah satu pola hidup yang mendukung adalah etika. Manusia yang hidup berdasarkan etika akan menemukan makna hidupnya. Dan dengan mudah mencapai kebahagiaan yang sempuna. Itu berarti kebahagiaan sempurna tidak ditemukan dalam harta kekayaan, makanan yang enak, suami yang ganteng dan isteri yang cantik. Kebahagiaan itu ada ketika manusia mempu menciptakan kebaikan. Dalam metafisika Aristoteles, kebaikan adalah sumber kebahagiaan.


Daftar Pustaka

Pandor, Pius.  Seni Merawat Jiwa, Jakarta: Obor, 2014.

Russell,  Bertrand.  Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Riyanto, Armada. Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana Publication, 2011.



[1] Pius Pandor, Seni Merawat Jiwa, Jakarta: Obor, 2014. Hal. 15.
[2]  Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Hal.  243.
[3] Armada Riyanto, Aku dan Liyan, Malang: Widya Sasana Publication, 2011. Hal. 96.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI (CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MA...