LABOREM
EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI
(CACATAN
KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI
MANUSIA DARI DIRINYA)
1. Latar
belakang
Manusia disebut sebagai homo faber (mahkluk pekerja)[1].
Ia bekerja untuk mengembangkan diri sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya
sehari-hari. Kerja mencakup apa yang dilakukannya baik dalam konteks pekerjaan
fisik maupun dalam pengembangan akal budi. Itu berarti kerja menjadi
aktivitas manusiawi yang esensial. Dikatakan
demikian karena inilah yang menjadi kekhasan manusia dari mahkluk ciptaan yang
lain.
Penolakan akan dimensi ini
berarti merendahkan martabat manusia. Yang dimaksudkan penolakan adalah adanya
sikap atau paham yang memandang kerja sebagai suatu yang tidak manusiawi. Palto
adalah salah satu manusia yang melihat kerja sebagai yang negatif. Kerja
bukanlah aktivitas manusiawi karena kerja menghambat dan menekan daya penalaran
manusia. Baginya yang paling penting adalah pengembanagan akal budi. Dalam
konteks sekarang apa yang dikatakan plato ini tidak terlalu berpengaruh. Yang
paling berpengaruh adalah teknologi[2]. Boleh dikata teknologi menjadi salah satu
penyebab penolakan akan dimensi kerja ini. Teknologi dengan cara kerja yang
sangat canggih membuat manusia kehilangan identitasnya sebagai mahkluk pekerja.
Artinya teknologi menjadi pengedali utama kegiatan manusia. Dan manusia bukan
lagi faktor penentu peradaban tetapi teknologi. Sehingga kerja tidak menjadikan
manusia semakin manusiawi.
kerja mengaleniasi manusia dari dirinya
sendiri dan menjadi sumber ketidakadilan. Ketidakadilan ini timbul karena ada
yang memperlakukan sesamanya untuk mencari keuntungan. Contohnya dalam dunia
perekonomian atau perindustrian. Kegitan perindustrian adalah kegiatan
menghasilkan suatu barang untuk meningkatkan nilai guna dan nilai jual barang
tersebut. Nilai guna dan nilai jual ini diproleh dari kegitan tenaga kerja. Pemilik
modal memperkerjakan tenaga kerja dengan upuh yang rendah sementara mereka
bekerja bekerja secara maksimal. Singkat kata dalam kegitan produksi adanya pemerasan
tenaga kaum buruh oleh para pemilik modal. Pemilik modal sebagai kelas atas
menguasai kaum buruh sebagai kelas bawah. Inilah titik tolak konflik yang
melahirkan ketidakadilan sosial dalam konteks kerja. Sebenarnya kerja bukanlah
aktivitas yang membuat manusia semakin terasing dari dirinya. Kerja tetap
menjadi hal yang terpenting untuk membentuk diri dan demi kelangsungan hidupnya
Maka terhadap masalah ini,
gereja melalui wewenang paus menyuarakan kebenaran. Paus Leo ke XIII mengeluarkan
Ensiklik Rerum
Novarum. Ensklik ini berbicara mengenai masalah
sosial yakni ketidakadilan dalam kerja. Dan
sembilan puluh tahun kemudian Paus Yohanes Paulus ke II mengeluarkan ensiklik Laborem
Exsersens. Ensklik ini dikelurkan bukan sekedar
untuk memperingati lahirnya ensiklik Rerum Novarum tetapi karena permasalah
ketidakadilan dalam dunia kerja semakin berkembang.
Laborem Exsersens lebih
menekankan kerja sebagai unsur hakiki dari segala masalah sosial. Kerja pada
hakekatnya terarah pada pengaktualisasian diri manusia dan sebagai tugas yang
diberikan oleh Allah kepadanya. Hal ini tergambar jelas dalam kitab Kejadian
yakni Allah memerintah manusia untuk menguasai dan menaklukkan apa yang ada di
atas bumi. Perintah untuk menguasai dan menaklukkan bumi bukan sekedar tindakan
menghabiskan kekayaan alam tetapi juga merawat dan memeliharanya.
2. Isi (Konflik
antara Kerja dan Modal Pada Tahap Sejarah Masa Kini)
Dimensi-dimensi
Konflik
Ajaran
gereja mengenai kerja didasarkan pada teks-teks Kitab Suci yakni pada kitab
Kejadian. Kerja manusia dipandang sebagai suatu kenyataan yang besar dan
mendasar dalam mempengaruhi pembentukan manusiawi dan dunia. Itu berarti
manusia sebagai pelaksana kerja dengan kegiatan rasionalnya. Dan kerja pada
dasarnya bersifat positif, kreatif, mendidik dan berjasa. Dengan demikian sifatnya
ini menjadi salah satu standarisasi dalam mengambil penilaian menegnai kerja dalam
bidang-bidang yang meliputi hak-hak manusiawi. Seperti halnya dalam
pernyataan-pernyataan internasional mengenai kerja dan dalam kaidah-kaidah
kerja yang disiapkan oleh lembaga-lembaga perundang-undangan yang kompeten di
berbagai negara atau organisasi yang membaktikan pada kegiatan ilmiah atau
sosial mengenai masalah-masalah kerja.
Permasalah
sosial yang seringkali terjadi adalah ketidakadilan. Ketidakadilan ini bermuara
pada hal-hal yang esensial dalam diri manusia yakni kerja. Sumber permasalahnya
adalah konfilik antara pemilik modal dan kaum buruh. Pemilik modal dalam
kebijakan produksi menuntut kaum buruh untuk bekerja berdasarkan standarisari
yang ditentukan tetapi dengan upah yang sangat rendah. Dengan demikian adanya
penghisapan tenaga para buruh secara tidak manusiawi. Oleh marx Konflik ini
desebut sebagai pertentangan anatara kelas yakni kelas pemilik modal (kelas
atas) dengan kaum buruh (kelas bawah)[3].
Bagi Marx penghapusan kelas ini menjadi jalan untuk menghilangkan
ketidakadilan. Dan ia menawarkan kolektivitas upaya-upaya produksi yakni penghapusan
hak milik pribadi.
Prioritas kerja
Konflik yang terjadi dalam dunia masa
kini dipengaruhi oleh manusia dan cara kerja teknologi. Salah satunya adalah
penemuan nuklir yang bisa menghancurkan seluruh dunia. Terhadap situasi ini
gereja mengangkat suatu prinsip yakni prinsip prioritas kerja terhadap modal.
Artinya adalah kerja harus dilihat sebagai peyebab pertama sedangkan modal atau
seluruh perangkat-perangkat upaya-upaya produksi sebagai instrument belaka. Prinsip
itu menjadi suatu kebenaran yang jelas, yang tampil berdasarkan keseluruhan
pengalaman historis manusia.
Manusia diperintahkan Allah untuk menaklukkan bumi
yakni semua sumber daya yang tercakup di dalamnya. Dan sumber-sumber daya itu
hanya dapat mengapdi manusia melalui kerja. Tetapi ketika kerja dikaitkan
dengan modal timbulah permasalahan. Yang dimaksudkan dengan modal mencakup
sumber-sumber daya alam dan seluruh perangkat atau upaya yang digunakan manusia
untuk menggali sumber-sumber itu untuk kemudian diolah menurut kebutuhannya.
Semua usaha itu adalah hasil warisan sejarah kerja manusiawi. Baik yang
bersifat primitif misalnya memotong kayu dengan kapak batu maupun dalam dunia
modern ini (ada mesin-mesin pemotong atau komputer). Baik kapak, ataupun mesin adalah
instrument yang dihasilkan oleh kerja.
Dan pada dasarnya modal tidak bisa dipisahkan dengan
kerja. Tetapi kemudian keduanya saling bertentangan ketika struktur dan sistem
ekonomi dan produksi berjalan. Sistem produksi menyempitkan kerja itu sendiri
yakni kehilangan aspek subjektif kerja. Sehingga kerja manusiawi dipandang
melulu dari sudut tujuan ekonomisnya. Dan hal ini akan jatuh pada kesesatan
materialisme yakni mengagungkan apa yang bendawi dan mengabaikan hal rohani.
Kerja
dan Kepemilikan
Persoalan yang terjadi dalam dunia
ekonomi adalah kenyataan bahwa ada dua golongan dalam proses produksi.
Persoalan tersebut berhubungan dengan paham tentang kerja dan kepemilikan.
Pembicaraan tersebut (kerja dan pemilikan) bukan membahas tentang suatu
paham-paham abstrak atau tentang “kekuatan-kekuatan impersonal” yang bekerja
dalam produksi ekonomi. Kelompok produksi tebagi menjadi dua yakni golongan
kapitalis dan golongan buruh. Para kapitalis berperan sebagai pemiliki modal. Para buruh
yang bekerja dengan kegiatan produksi tersebut tidak memiliki hak kepemilikan
terhadap modal. Kegiatan produksi menjadi kekuasaan para kapitalis.
Gereja dalam menghadapi situasi ini
tidak menganut paham yang sejalan dengan program kolektivisme dan kapitalisme
yang dilaksanakan oleh liberalisme. Gereja tidak mengakui kedaulatan suatu hak
milik secara mutlak. Tradisi Gereja senantiasa memahami hak itu dalam konteks
yang lebih luas. Semua orang memilki hak dalam menggunakan harta-benda seluruh
ciptaan. Hak atas
milik perorangan terbawahkan kepada hak atas penggunaan bersama. Milik kepunyaan
itu harus diperuntukan bagi kesejahteraan bersama atau umum.
Kepemilikan tidak diartikan oleh Gereja
sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik perihal kerja. Kapitalisme
yang ketat tidak boleh mendapat tempat. Modal itu pada dasarnya merupakan ciptaan dari
kerja yang terlaksana berkat semua produksi. Berbagai upaya itu juga adalah
sanggar kerja besar, tempat generasi kaum pekerja berjerih-payah dari hari ke
hari. Kerja pada dasarnya juga bukan hanya melibatkan keterampilan tangan
tetapi juga keterampilan akal budi. Gereja tidak menyetujui keputusan yang
secara a priori menghapus pemilikan
perorangan dalam upaya-upaya produksi. Usaha perebutan upaya-upaya produksi
(modal) dari para pemilik tidak memberi jaminan pasti bahwa sosialisasinya
terjadi secara memuaskan. Kelompok lain yang mengelola kepemilikan tersebut di
bawah otoritas nasional hanya mengelolanya pada tingkat seluruh ekonomi
nasional atau setempat. Sosialisasi terwujud apabila sifat subyek masyarakat
dijamin. Para pekerja hendaknya tidak terasing dengan pekerjaannya. Artinya,
setiap pribadi berhak penuh untuk memandang dirinya ikut memiliki sanggar kerja
tempat ia bekerja. Setiap anggota perlu diperlakukan sebagai pribadi dan bukan
dieksploitasi.
Argumen
Bernada “Personalisme”
Para pekerja berusaha menggunakan semua
upaya produksi. Ia mencita-citakan bahwa buah-hasil kerjanya itu dimanfaatkan
olehnya dan orang lain. Keterlibatan secara penuh dari pihaknya perlu dalam
proses kerjanya sendiri. Kerja itu sendiri lebih terlihat sebagai daya yang
mengungkapkan personalisme para pekerja. Para pekerja bukan saja menuntut
imbalan, tetapi agar proses produksi tersebut merupakan bagian miliknya. Dengan
kata lain, tidak ada kesan bahwa ia menjadi sama dengan bagian kecil dari mesin
produksi semata.
Gereja mengajarkan bahwa kerja menusia
tidak hanya menyangkut urusan ekonomi, tetapi harus menyangkut perlakuan yang
pantas terhadap nilai-nilai pribadi manusia. Manusia yang bekerja harus sampai
pada suatu tujuan yakni bahwa ia bekerja bagi dirinya sendiri. Kerja menjadi
bagian dari ekspresi akan eksistensi dirinya. Rasa memiliki dari para pekerja
akan aktivitas kerjanya akan meredahkan krisis proses produksi dalam dunia
ekonomi. Penerapan ini tentu akan menghindarkan produksi dari berbagai kerugian
yang menimpa seluruh proses ekonomi baik kerugian ekonomis maupun kerugian
terhadap manusia sendiri.
3.
Penerapannya dalam Konteks Indonesia
Peningkatan
Sumber Daya Manusia
Pemerintah Indonesia pada periode ini memberi perhatian
terhadap elemen kerja. Bahkan kabinet pemerintahannya dinamakan Kabinet Kerja.
dalam kenyataan sumber daya alam yang melimpah, para pekerja di Indonesia
mengalami kendala yang datang dari pihak-pihak pemilik modal (kapitalis). Para
pemilik modal menjadi penguasa bagi para buruh dan dinamika perekonomian.
Standard upah masih dipegang kendali oleh para kapitalis.
Peningkatan mutu sumber daya manusia perlu diterapkan dalam
masyarkat. Indonesia merupakan negeri yang memiliki ketersediaan sumber daya
alam melimpah. Kemampuan manusia Indonesia
yang kurang memadai akan memberi ruang eksploitas dari pihak luar. Eksploitasi
itu tersebut bisa terhadap modal atau pun jasa.
Penerapan ini bertujuan agar para buruh lebih kritis terhadap tindakan
para penguasa modal. Sarana yang dapat dipakai untuk tujuan tersebut adalah
pendidikan. Pendidikan harus membina
karakter masyarakat agar dalam kerja ia tidak sekedar bekerja untuk upah tetapi
lebih terarah kepada kepentingan semua orang. Ia harus menjadi bagian dari
proses produksi mengingat bahwa ketersediaan modal berasal dari negerinya.
Pengelolaan
Sumber Daya Alam yang Bijak
Pengolahan sumberdaya alam
selalu melibatkan kerja manusia. Cara kerja manusia dalam pengolahan sumberdaya
itu menentukan kehidupan manusia itu sendiri. Kita mengetahui bahwa Indonesia
adalah negara yang memiliki sumberdaya alam yang sangat melimpah. Sumber daya
alam ini memiliki
tingkatan nilai ekonomis. Ada sumber daya alam yang nilai eknomisnya tinggi, sedang
dan rendah. Sumber daya alam yang nilai ekonomis yang tinggi seperti: emas, minyak intan, besi dan batu bara dan ada yang
memiliki nilai ekonomi sedang dan rendah seperti: batu,
kayu, pala, dan rempah-rempah. Sumberdaya
alam ini harus dikelola. Siapa yang mengelolanya dan dengan cara apa?
Subjek yang mengelola sumberdaya
alam ini tidak lain adalah seluruh elemen masyarakat Indonesia. Yang walaupun
dalam kenyataannya pihak yang menanggani hal ini adalah para pemerintah dalam
hubungannya dengan para pemilik modal. Para pemerintah dalam mengelola sumberdaya
alam ini harus didasarkan pada perundangan-undagan (UUD 1945). Tujuannya adalah
untuk kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun secara de fakto, hasil dari pengolahan sumberdaya
alam itu tidak terarah secara maksimal dalam membangun kesejahteraan
masyarakat. perekonomian berjalan timbang. Dikatakan demikian, karena pihak
yang berwenang tidak bijak dalam mengelolanya. Singkat kata Pemerintah dalam hubungan dengan
para pemilik modal kurang memadai dalam mengambil kebijakan. Tolak ukur ketidakbijakan ini adalah masih
banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Sebenarnya pengelolaan
yang bijak akan sumberdaya alam ini, konflik dalam dunia kerja semakin
berkurang.
Kepustakaan
Menezes, J. Innosencio. Manusia dan Teknologi. Yogyakarta:
Kanisius, 1986.
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia,
1999.