Minggu, 07 Oktober 2018

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI
(CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MANUSIA DARI DIRINYA)
1.      Latar belakang
Manusia disebut sebagai homo faber (mahkluk pekerja)[1]. Ia bekerja untuk mengembangkan diri sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kerja mencakup apa yang dilakukannya baik dalam konteks pekerjaan fisik maupun dalam pengembangan akal budi. Itu berarti kerja menjadi aktivitas manusiawi yang esensial. Dikatakan demikian karena inilah yang menjadi kekhasan manusia dari mahkluk ciptaan yang lain.
Penolakan akan dimensi ini berarti merendahkan martabat manusia. Yang dimaksudkan penolakan adalah adanya sikap atau paham yang memandang kerja sebagai suatu yang tidak manusiawi. Palto adalah salah satu manusia yang melihat kerja sebagai yang negatif. Kerja bukanlah aktivitas manusiawi karena kerja menghambat dan menekan daya penalaran manusia. Baginya yang paling penting adalah pengembanagan akal budi. Dalam konteks sekarang apa yang dikatakan plato ini tidak terlalu berpengaruh. Yang paling berpengaruh adalah teknologi[2].  Boleh dikata teknologi menjadi salah satu penyebab penolakan akan dimensi kerja ini. Teknologi dengan cara kerja yang sangat canggih membuat manusia kehilangan identitasnya sebagai mahkluk pekerja. Artinya teknologi menjadi pengedali utama kegiatan manusia. Dan manusia bukan lagi faktor penentu peradaban tetapi teknologi. Sehingga kerja tidak menjadikan manusia semakin manusiawi.
 kerja mengaleniasi manusia dari dirinya sendiri dan menjadi sumber ketidakadilan. Ketidakadilan ini timbul karena ada yang memperlakukan sesamanya untuk mencari keuntungan. Contohnya dalam dunia perekonomian atau perindustrian. Kegitan perindustrian adalah kegiatan menghasilkan suatu barang untuk meningkatkan nilai guna dan nilai jual barang tersebut. Nilai guna dan nilai jual ini diproleh dari kegitan tenaga kerja. Pemilik modal memperkerjakan tenaga kerja dengan upuh yang rendah sementara mereka bekerja bekerja secara maksimal. Singkat kata dalam kegitan produksi adanya pemerasan tenaga kaum buruh oleh para pemilik modal. Pemilik modal sebagai kelas atas menguasai kaum buruh sebagai kelas bawah. Inilah titik tolak konflik yang melahirkan ketidakadilan sosial dalam konteks kerja. Sebenarnya kerja bukanlah aktivitas yang membuat manusia semakin terasing dari dirinya. Kerja tetap menjadi hal yang terpenting untuk membentuk diri dan demi kelangsungan hidupnya
Maka terhadap masalah ini, gereja melalui wewenang paus menyuarakan kebenaran. Paus Leo ke XIII mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum. Ensklik ini berbicara mengenai masalah sosial yakni ketidakadilan dalam kerja. Dan sembilan puluh tahun kemudian Paus Yohanes Paulus ke II mengeluarkan ensiklik Laborem Exsersens. Ensklik ini dikelurkan bukan sekedar untuk memperingati lahirnya ensiklik Rerum Novarum tetapi karena permasalah ketidakadilan dalam dunia kerja semakin berkembang.
Laborem Exsersens lebih menekankan kerja sebagai unsur hakiki dari segala masalah sosial. Kerja pada hakekatnya terarah pada pengaktualisasian diri manusia dan sebagai tugas yang diberikan oleh Allah kepadanya. Hal ini tergambar jelas dalam kitab Kejadian yakni Allah memerintah manusia untuk menguasai dan menaklukkan apa yang ada di atas bumi. Perintah untuk menguasai dan menaklukkan bumi bukan sekedar tindakan menghabiskan kekayaan alam tetapi juga merawat dan memeliharanya.

2.      Isi (Konflik antara Kerja dan Modal Pada Tahap Sejarah Masa Kini)
Dimensi-dimensi Konflik
            Ajaran gereja mengenai kerja didasarkan pada teks-teks Kitab Suci yakni pada kitab Kejadian. Kerja manusia dipandang sebagai suatu kenyataan yang besar dan mendasar dalam mempengaruhi pembentukan manusiawi dan dunia. Itu berarti manusia sebagai pelaksana kerja dengan kegiatan rasionalnya. Dan kerja pada dasarnya bersifat positif, kreatif, mendidik dan berjasa. Dengan demikian sifatnya ini menjadi salah satu standarisasi dalam mengambil penilaian menegnai kerja dalam bidang-bidang yang meliputi hak-hak manusiawi. Seperti halnya dalam pernyataan-pernyataan internasional mengenai kerja dan dalam kaidah-kaidah kerja yang disiapkan oleh lembaga-lembaga perundang-undangan yang kompeten di berbagai negara atau organisasi yang membaktikan pada kegiatan ilmiah atau sosial mengenai masalah-masalah kerja.
            Permasalah sosial yang seringkali terjadi adalah ketidakadilan. Ketidakadilan ini bermuara pada hal-hal yang esensial dalam diri manusia yakni kerja. Sumber permasalahnya adalah konfilik antara pemilik modal dan kaum buruh. Pemilik modal dalam kebijakan produksi menuntut kaum buruh untuk bekerja berdasarkan standarisari yang ditentukan tetapi dengan upah yang sangat rendah. Dengan demikian adanya penghisapan tenaga para buruh secara tidak manusiawi. Oleh marx Konflik ini desebut sebagai pertentangan anatara kelas yakni kelas pemilik modal (kelas atas) dengan kaum buruh (kelas bawah)[3]. Bagi Marx penghapusan kelas ini menjadi jalan untuk menghilangkan ketidakadilan. Dan ia menawarkan kolektivitas upaya-upaya produksi yakni penghapusan hak milik pribadi.

Prioritas kerja
            Konflik yang terjadi dalam dunia masa kini dipengaruhi oleh manusia dan cara kerja teknologi. Salah satunya adalah penemuan nuklir yang bisa menghancurkan seluruh dunia. Terhadap situasi ini gereja mengangkat suatu prinsip yakni prinsip prioritas kerja terhadap modal. Artinya adalah kerja harus dilihat sebagai peyebab pertama sedangkan modal atau seluruh perangkat-perangkat upaya-upaya produksi sebagai instrument belaka. Prinsip itu menjadi suatu kebenaran yang jelas, yang tampil berdasarkan keseluruhan pengalaman historis manusia.
 Manusia diperintahkan Allah untuk menaklukkan bumi yakni semua sumber daya yang tercakup di dalamnya. Dan sumber-sumber daya itu hanya dapat mengapdi manusia melalui kerja. Tetapi ketika kerja dikaitkan dengan modal timbulah permasalahan. Yang dimaksudkan dengan modal mencakup sumber-sumber daya alam dan seluruh perangkat atau upaya yang digunakan manusia untuk menggali sumber-sumber itu untuk kemudian diolah menurut kebutuhannya. Semua usaha itu adalah hasil warisan sejarah kerja manusiawi. Baik yang bersifat primitif misalnya memotong kayu dengan kapak batu maupun dalam dunia modern ini (ada mesin-mesin pemotong atau komputer). Baik kapak, ataupun mesin adalah instrument yang dihasilkan oleh kerja.
Dan pada dasarnya modal tidak bisa dipisahkan dengan kerja. Tetapi kemudian keduanya saling bertentangan ketika struktur dan sistem ekonomi dan produksi berjalan. Sistem produksi menyempitkan kerja itu sendiri yakni kehilangan aspek subjektif kerja. Sehingga kerja manusiawi dipandang melulu dari sudut tujuan ekonomisnya. Dan hal ini akan jatuh pada kesesatan materialisme yakni mengagungkan apa yang bendawi dan mengabaikan hal rohani.  

Kerja dan Kepemilikan
Persoalan yang terjadi dalam dunia ekonomi adalah kenyataan bahwa ada dua golongan dalam proses produksi. Persoalan tersebut berhubungan dengan paham tentang kerja dan kepemilikan. Pembicaraan tersebut (kerja dan pemilikan) bukan membahas tentang suatu paham-paham abstrak atau tentang “kekuatan-kekuatan impersonal” yang bekerja dalam produksi ekonomi. Kelompok produksi tebagi menjadi dua yakni golongan kapitalis dan golongan buruh. Para kapitalis berperan sebagai pemiliki modal. Para buruh yang bekerja dengan kegiatan produksi tersebut tidak memiliki hak kepemilikan terhadap modal. Kegiatan produksi menjadi kekuasaan para kapitalis.
Gereja dalam menghadapi situasi ini tidak menganut paham yang sejalan dengan program kolektivisme dan kapitalisme yang dilaksanakan oleh liberalisme. Gereja tidak mengakui kedaulatan suatu hak milik secara mutlak. Tradisi Gereja senantiasa memahami hak itu dalam konteks yang lebih luas. Semua orang memilki hak dalam menggunakan harta-benda seluruh ciptaan. Hak atas milik perorangan terbawahkan kepada hak atas penggunaan bersama. Milik kepunyaan itu harus diperuntukan bagi kesejahteraan bersama atau umum.
Kepemilikan tidak diartikan oleh Gereja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik perihal kerja. Kapitalisme yang ketat tidak boleh mendapat tempat. Modal itu pada dasarnya merupakan ciptaan dari kerja yang terlaksana berkat semua produksi. Berbagai upaya itu juga adalah sanggar kerja besar, tempat generasi kaum pekerja berjerih-payah dari hari ke hari. Kerja pada dasarnya juga bukan hanya melibatkan keterampilan tangan tetapi juga keterampilan akal budi. Gereja tidak menyetujui keputusan yang secara a priori menghapus pemilikan perorangan dalam upaya-upaya produksi. Usaha perebutan upaya-upaya produksi (modal) dari para pemilik tidak memberi jaminan pasti bahwa sosialisasinya terjadi secara memuaskan. Kelompok lain yang mengelola kepemilikan tersebut di bawah otoritas nasional hanya mengelolanya pada tingkat seluruh ekonomi nasional atau setempat. Sosialisasi terwujud apabila sifat subyek masyarakat dijamin. Para pekerja hendaknya tidak terasing dengan pekerjaannya. Artinya, setiap pribadi berhak penuh untuk memandang dirinya ikut memiliki sanggar kerja tempat ia bekerja. Setiap anggota perlu diperlakukan sebagai pribadi dan bukan dieksploitasi.

Argumen Bernada “Personalisme”
Para pekerja berusaha menggunakan semua upaya produksi. Ia mencita-citakan bahwa buah-hasil kerjanya itu dimanfaatkan olehnya dan orang lain. Keterlibatan secara penuh dari pihaknya perlu dalam proses kerjanya sendiri. Kerja itu sendiri lebih terlihat sebagai daya yang mengungkapkan personalisme para pekerja. Para pekerja bukan saja menuntut imbalan, tetapi agar proses produksi tersebut merupakan bagian miliknya. Dengan kata lain, tidak ada kesan bahwa ia menjadi sama dengan bagian kecil dari mesin produksi semata.
Gereja mengajarkan bahwa kerja menusia tidak hanya menyangkut urusan ekonomi, tetapi harus menyangkut perlakuan yang pantas terhadap nilai-nilai pribadi manusia. Manusia yang bekerja harus sampai pada suatu tujuan yakni bahwa ia bekerja bagi dirinya sendiri. Kerja menjadi bagian dari ekspresi akan eksistensi dirinya. Rasa memiliki dari para pekerja akan aktivitas kerjanya akan meredahkan krisis proses produksi dalam dunia ekonomi. Penerapan ini tentu akan menghindarkan produksi dari berbagai kerugian yang menimpa seluruh proses ekonomi baik kerugian ekonomis maupun kerugian terhadap manusia sendiri.

3.         Penerapannya dalam Konteks Indonesia
   Peningkatan Sumber Daya Manusia
Pemerintah Indonesia pada periode ini memberi perhatian terhadap elemen kerja. Bahkan kabinet pemerintahannya dinamakan Kabinet Kerja. dalam kenyataan sumber daya alam yang melimpah, para pekerja di Indonesia mengalami kendala yang datang dari pihak-pihak pemilik modal (kapitalis). Para pemilik modal menjadi penguasa bagi para buruh dan dinamika perekonomian. Standard upah masih dipegang kendali oleh para kapitalis.
Peningkatan mutu sumber daya manusia perlu diterapkan dalam masyarkat. Indonesia merupakan negeri yang memiliki ketersediaan sumber daya alam melimpah.  Kemampuan manusia Indonesia yang kurang memadai akan memberi ruang eksploitas dari pihak luar. Eksploitasi itu tersebut bisa terhadap modal atau pun jasa.  Penerapan ini bertujuan agar para buruh lebih kritis terhadap tindakan para penguasa modal. Sarana yang dapat dipakai untuk tujuan tersebut adalah pendidikan. Pendidikan  harus membina karakter masyarakat agar dalam kerja ia tidak sekedar bekerja untuk upah tetapi lebih terarah kepada kepentingan semua orang. Ia harus menjadi bagian dari proses produksi mengingat bahwa ketersediaan modal berasal dari negerinya.

       Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Bijak
Pengolahan sumberdaya alam selalu melibatkan kerja manusia. Cara kerja manusia dalam pengolahan sumberdaya itu menentukan kehidupan manusia itu sendiri. Kita mengetahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki sumberdaya alam yang sangat melimpah. Sumber daya alam ini memiliki tingkatan nilai ekonomis. Ada sumber daya alam yang nilai eknomisnya tinggi, sedang dan rendah. Sumber daya alam yang nilai ekonomis yang tinggi seperti: emas, minyak intan, besi dan batu bara dan ada yang memiliki nilai ekonomi sedang dan rendah seperti: batu, kayu, pala, dan rempah-rempah. Sumberdaya alam ini harus dikelola. Siapa yang mengelolanya dan dengan cara apa?
Subjek yang mengelola sumberdaya alam ini tidak lain adalah seluruh elemen masyarakat Indonesia. Yang walaupun dalam kenyataannya pihak yang menanggani hal ini adalah para pemerintah dalam hubungannya dengan para pemilik modal. Para pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam ini harus didasarkan pada perundangan-undagan (UUD 1945). Tujuannya adalah untuk kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun secara de fakto, hasil dari pengolahan sumberdaya alam itu tidak terarah secara maksimal dalam membangun kesejahteraan masyarakat. perekonomian berjalan timbang. Dikatakan demikian, karena pihak yang berwenang tidak bijak dalam mengelolanya.  Singkat kata Pemerintah dalam hubungan dengan para pemilik modal kurang memadai dalam mengambil kebijakan.  Tolak ukur ketidakbijakan ini adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Sebenarnya pengelolaan yang bijak akan sumberdaya alam ini, konflik dalam dunia kerja semakin berkurang.

Kepustakaan
Menezes, J. Innosencio. Manusia dan Teknologi. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 1999.



[1] J. Innosencio Menezes, Manusia dan Teknologi, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Hal.9.
[2] Ibid., hal. 10.
[3] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Jakarta: Gramedia, 1999, Hal.112-113

laborem exersens: kerja memanusiakan manusia (catatan kritis atas pengaruh modal dalam dimensi kerja yang mengaleniasi manusia dari dirinya sendiri)

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI
(CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MANUSIA DARI DIRINYA)
1.      Latar belakang
Manusia disebut sebagai homo faber (mahkluk pekerja)[1]. Ia bekerja untuk mengembangkan diri sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kerja mencakup apa yang dilakukannya baik dalam konteks pekerjaan fisik maupun dalam pengembangan akal budi. Itu berarti kerja menjadi aktivitas manusiawi yang esensial. Dikatakan demikian karena inilah yang menjadi kekhasan manusia dari mahkluk ciptaan yang lain.
Penolakan akan dimensi ini berarti merendahkan martabat manusia. Yang dimaksudkan penolakan adalah adanya sikap atau paham yang memandang kerja sebagai suatu yang tidak manusiawi. Palto adalah salah satu manusia yang melihat kerja sebagai yang negatif. Kerja bukanlah aktivitas manusiawi karena kerja menghambat dan menekan daya penalaran manusia. Baginya yang paling penting adalah pengembanagan akal budi. Dalam konteks sekarang apa yang dikatakan plato ini tidak terlalu berpengaruh. Yang paling berpengaruh adalah teknologi[2].  Boleh dikata teknologi menjadi salah satu penyebab penolakan akan dimensi kerja ini. Teknologi dengan cara kerja yang sangat canggih membuat manusia kehilangan identitasnya sebagai mahkluk pekerja. Artinya teknologi menjadi pengedali utama kegiatan manusia. Dan manusia bukan lagi faktor penentu peradaban tetapi teknologi. Sehingga kerja tidak menjadikan manusia semakin manusiawi.
 kerja mengaleniasi manusia dari dirinya sendiri dan menjadi sumber ketidakadilan. Ketidakadilan ini timbul karena ada yang memperlakukan sesamanya untuk mencari keuntungan. Contohnya dalam dunia perekonomian atau perindustrian. Kegitan perindustrian adalah kegiatan menghasilkan suatu barang untuk meningkatkan nilai guna dan nilai jual barang tersebut. Nilai guna dan nilai jual ini diproleh dari kegitan tenaga kerja. Pemilik modal memperkerjakan tenaga kerja dengan upuh yang rendah sementara mereka bekerja bekerja secara maksimal. Singkat kata dalam kegitan produksi adanya pemerasan tenaga kaum buruh oleh para pemilik modal. Pemilik modal sebagai kelas atas menguasai kaum buruh sebagai kelas bawah. Inilah titik tolak konflik yang melahirkan ketidakadilan sosial dalam konteks kerja. Sebenarnya kerja bukanlah aktivitas yang membuat manusia semakin terasing dari dirinya. Kerja tetap menjadi hal yang terpenting untuk membentuk diri dan demi kelangsungan hidupnya
Maka terhadap masalah ini, gereja melalui wewenang paus menyuarakan kebenaran. Paus Leo ke XIII mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum. Ensklik ini berbicara mengenai masalah sosial yakni ketidakadilan dalam kerja. Dan sembilan puluh tahun kemudian Paus Yohanes Paulus ke II mengeluarkan ensiklik Laborem Exsersens. Ensklik ini dikelurkan bukan sekedar untuk memperingati lahirnya ensiklik Rerum Novarum tetapi karena permasalah ketidakadilan dalam dunia kerja semakin berkembang.
Laborem Exsersens lebih menekankan kerja sebagai unsur hakiki dari segala masalah sosial. Kerja pada hakekatnya terarah pada pengaktualisasian diri manusia dan sebagai tugas yang diberikan oleh Allah kepadanya. Hal ini tergambar jelas dalam kitab Kejadian yakni Allah memerintah manusia untuk menguasai dan menaklukkan apa yang ada di atas bumi. Perintah untuk menguasai dan menaklukkan bumi bukan sekedar tindakan menghabiskan kekayaan alam tetapi juga merawat dan memeliharanya.

2.      Isi (Konflik antara Kerja dan Modal Pada Tahap Sejarah Masa Kini)
Dimensi-dimensi Konflik
            Ajaran gereja mengenai kerja didasarkan pada teks-teks Kitab Suci yakni pada kitab Kejadian. Kerja manusia dipandang sebagai suatu kenyataan yang besar dan mendasar dalam mempengaruhi pembentukan manusiawi dan dunia. Itu berarti manusia sebagai pelaksana kerja dengan kegiatan rasionalnya. Dan kerja pada dasarnya bersifat positif, kreatif, mendidik dan berjasa. Dengan demikian sifatnya ini menjadi salah satu standarisasi dalam mengambil penilaian menegnai kerja dalam bidang-bidang yang meliputi hak-hak manusiawi. Seperti halnya dalam pernyataan-pernyataan internasional mengenai kerja dan dalam kaidah-kaidah kerja yang disiapkan oleh lembaga-lembaga perundang-undangan yang kompeten di berbagai negara atau organisasi yang membaktikan pada kegiatan ilmiah atau sosial mengenai masalah-masalah kerja.
            Permasalah sosial yang seringkali terjadi adalah ketidakadilan. Ketidakadilan ini bermuara pada hal-hal yang esensial dalam diri manusia yakni kerja. Sumber permasalahnya adalah konfilik antara pemilik modal dan kaum buruh. Pemilik modal dalam kebijakan produksi menuntut kaum buruh untuk bekerja berdasarkan standarisari yang ditentukan tetapi dengan upah yang sangat rendah. Dengan demikian adanya penghisapan tenaga para buruh secara tidak manusiawi. Oleh marx Konflik ini desebut sebagai pertentangan anatara kelas yakni kelas pemilik modal (kelas atas) dengan kaum buruh (kelas bawah)[3]. Bagi Marx penghapusan kelas ini menjadi jalan untuk menghilangkan ketidakadilan. Dan ia menawarkan kolektivitas upaya-upaya produksi yakni penghapusan hak milik pribadi.

Prioritas kerja
            Konflik yang terjadi dalam dunia masa kini dipengaruhi oleh manusia dan cara kerja teknologi. Salah satunya adalah penemuan nuklir yang bisa menghancurkan seluruh dunia. Terhadap situasi ini gereja mengangkat suatu prinsip yakni prinsip prioritas kerja terhadap modal. Artinya adalah kerja harus dilihat sebagai peyebab pertama sedangkan modal atau seluruh perangkat-perangkat upaya-upaya produksi sebagai instrument belaka. Prinsip itu menjadi suatu kebenaran yang jelas, yang tampil berdasarkan keseluruhan pengalaman historis manusia.
 Manusia diperintahkan Allah untuk menaklukkan bumi yakni semua sumber daya yang tercakup di dalamnya. Dan sumber-sumber daya itu hanya dapat mengapdi manusia melalui kerja. Tetapi ketika kerja dikaitkan dengan modal timbulah permasalahan. Yang dimaksudkan dengan modal mencakup sumber-sumber daya alam dan seluruh perangkat atau upaya yang digunakan manusia untuk menggali sumber-sumber itu untuk kemudian diolah menurut kebutuhannya. Semua usaha itu adalah hasil warisan sejarah kerja manusiawi. Baik yang bersifat primitif misalnya memotong kayu dengan kapak batu maupun dalam dunia modern ini (ada mesin-mesin pemotong atau komputer). Baik kapak, ataupun mesin adalah instrument yang dihasilkan oleh kerja.
Dan pada dasarnya modal tidak bisa dipisahkan dengan kerja. Tetapi kemudian keduanya saling bertentangan ketika struktur dan sistem ekonomi dan produksi berjalan. Sistem produksi menyempitkan kerja itu sendiri yakni kehilangan aspek subjektif kerja. Sehingga kerja manusiawi dipandang melulu dari sudut tujuan ekonomisnya. Dan hal ini akan jatuh pada kesesatan materialisme yakni mengagungkan apa yang bendawi dan mengabaikan hal rohani.  

Kerja dan Kepemilikan
Persoalan yang terjadi dalam dunia ekonomi adalah kenyataan bahwa ada dua golongan dalam proses produksi. Persoalan tersebut berhubungan dengan paham tentang kerja dan kepemilikan. Pembicaraan tersebut (kerja dan pemilikan) bukan membahas tentang suatu paham-paham abstrak atau tentang “kekuatan-kekuatan impersonal” yang bekerja dalam produksi ekonomi. Kelompok produksi tebagi menjadi dua yakni golongan kapitalis dan golongan buruh. Para kapitalis berperan sebagai pemiliki modal. Para buruh yang bekerja dengan kegiatan produksi tersebut tidak memiliki hak kepemilikan terhadap modal. Kegiatan produksi menjadi kekuasaan para kapitalis.
Gereja dalam menghadapi situasi ini tidak menganut paham yang sejalan dengan program kolektivisme dan kapitalisme yang dilaksanakan oleh liberalisme. Gereja tidak mengakui kedaulatan suatu hak milik secara mutlak. Tradisi Gereja senantiasa memahami hak itu dalam konteks yang lebih luas. Semua orang memilki hak dalam menggunakan harta-benda seluruh ciptaan. Hak atas milik perorangan terbawahkan kepada hak atas penggunaan bersama. Milik kepunyaan itu harus diperuntukan bagi kesejahteraan bersama atau umum.
Kepemilikan tidak diartikan oleh Gereja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik perihal kerja. Kapitalisme yang ketat tidak boleh mendapat tempat. Modal itu pada dasarnya merupakan ciptaan dari kerja yang terlaksana berkat semua produksi. Berbagai upaya itu juga adalah sanggar kerja besar, tempat generasi kaum pekerja berjerih-payah dari hari ke hari. Kerja pada dasarnya juga bukan hanya melibatkan keterampilan tangan tetapi juga keterampilan akal budi. Gereja tidak menyetujui keputusan yang secara a priori menghapus pemilikan perorangan dalam upaya-upaya produksi. Usaha perebutan upaya-upaya produksi (modal) dari para pemilik tidak memberi jaminan pasti bahwa sosialisasinya terjadi secara memuaskan. Kelompok lain yang mengelola kepemilikan tersebut di bawah otoritas nasional hanya mengelolanya pada tingkat seluruh ekonomi nasional atau setempat. Sosialisasi terwujud apabila sifat subyek masyarakat dijamin. Para pekerja hendaknya tidak terasing dengan pekerjaannya. Artinya, setiap pribadi berhak penuh untuk memandang dirinya ikut memiliki sanggar kerja tempat ia bekerja. Setiap anggota perlu diperlakukan sebagai pribadi dan bukan dieksploitasi.

Argumen Bernada “Personalisme”
Para pekerja berusaha menggunakan semua upaya produksi. Ia mencita-citakan bahwa buah-hasil kerjanya itu dimanfaatkan olehnya dan orang lain. Keterlibatan secara penuh dari pihaknya perlu dalam proses kerjanya sendiri. Kerja itu sendiri lebih terlihat sebagai daya yang mengungkapkan personalisme para pekerja. Para pekerja bukan saja menuntut imbalan, tetapi agar proses produksi tersebut merupakan bagian miliknya. Dengan kata lain, tidak ada kesan bahwa ia menjadi sama dengan bagian kecil dari mesin produksi semata.
Gereja mengajarkan bahwa kerja menusia tidak hanya menyangkut urusan ekonomi, tetapi harus menyangkut perlakuan yang pantas terhadap nilai-nilai pribadi manusia. Manusia yang bekerja harus sampai pada suatu tujuan yakni bahwa ia bekerja bagi dirinya sendiri. Kerja menjadi bagian dari ekspresi akan eksistensi dirinya. Rasa memiliki dari para pekerja akan aktivitas kerjanya akan meredahkan krisis proses produksi dalam dunia ekonomi. Penerapan ini tentu akan menghindarkan produksi dari berbagai kerugian yang menimpa seluruh proses ekonomi baik kerugian ekonomis maupun kerugian terhadap manusia sendiri.

3.         Penerapannya dalam Konteks Indonesia
   Peningkatan Sumber Daya Manusia
Pemerintah Indonesia pada periode ini memberi perhatian terhadap elemen kerja. Bahkan kabinet pemerintahannya dinamakan Kabinet Kerja. dalam kenyataan sumber daya alam yang melimpah, para pekerja di Indonesia mengalami kendala yang datang dari pihak-pihak pemilik modal (kapitalis). Para pemilik modal menjadi penguasa bagi para buruh dan dinamika perekonomian. Standard upah masih dipegang kendali oleh para kapitalis.
Peningkatan mutu sumber daya manusia perlu diterapkan dalam masyarkat. Indonesia merupakan negeri yang memiliki ketersediaan sumber daya alam melimpah.  Kemampuan manusia Indonesia yang kurang memadai akan memberi ruang eksploitas dari pihak luar. Eksploitasi itu tersebut bisa terhadap modal atau pun jasa.  Penerapan ini bertujuan agar para buruh lebih kritis terhadap tindakan para penguasa modal. Sarana yang dapat dipakai untuk tujuan tersebut adalah pendidikan. Pendidikan  harus membina karakter masyarakat agar dalam kerja ia tidak sekedar bekerja untuk upah tetapi lebih terarah kepada kepentingan semua orang. Ia harus menjadi bagian dari proses produksi mengingat bahwa ketersediaan modal berasal dari negerinya.

       Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Bijak
Pengolahan sumberdaya alam selalu melibatkan kerja manusia. Cara kerja manusia dalam pengolahan sumberdaya itu menentukan kehidupan manusia itu sendiri. Kita mengetahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki sumberdaya alam yang sangat melimpah. Sumber daya alam ini memiliki tingkatan nilai ekonomis. Ada sumber daya alam yang nilai eknomisnya tinggi, sedang dan rendah. Sumber daya alam yang nilai ekonomis yang tinggi seperti: emas, minyak intan, besi dan batu bara dan ada yang memiliki nilai ekonomi sedang dan rendah seperti: batu, kayu, pala, dan rempah-rempah. Sumberdaya alam ini harus dikelola. Siapa yang mengelolanya dan dengan cara apa?
Subjek yang mengelola sumberdaya alam ini tidak lain adalah seluruh elemen masyarakat Indonesia. Yang walaupun dalam kenyataannya pihak yang menanggani hal ini adalah para pemerintah dalam hubungannya dengan para pemilik modal. Para pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam ini harus didasarkan pada perundangan-undagan (UUD 1945). Tujuannya adalah untuk kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun secara de fakto, hasil dari pengolahan sumberdaya alam itu tidak terarah secara maksimal dalam membangun kesejahteraan masyarakat. perekonomian berjalan timbang. Dikatakan demikian, karena pihak yang berwenang tidak bijak dalam mengelolanya.  Singkat kata Pemerintah dalam hubungan dengan para pemilik modal kurang memadai dalam mengambil kebijakan.  Tolak ukur ketidakbijakan ini adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Sebenarnya pengelolaan yang bijak akan sumberdaya alam ini, konflik dalam dunia kerja semakin berkurang.

Kepustakaan
Menezes, J. Innosencio. Manusia dan Teknologi. Yogyakarta: Kanisius, 1986.
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 1999.



[1] J. Innosencio Menezes, Manusia dan Teknologi, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Hal.9.
[2] Ibid., hal. 10.
[3] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Jakarta: Gramedia, 1999, Hal.112-113
LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI

(CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MANUSIA DARI DIRINYA)
1.      Latar belakang
Manusia disebut sebagai homo faber (mahkluk pekerja)[1]. Ia bekerja untuk mengembangkan diri sekaligus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kerja mencakup apa yang dilakukannya baik dalam konteks pekerjaan fisik maupun dalam pengembangan akal budi. Itu berarti kerja menjadi aktivitas manusiawi yang esensial. Dikatakan demikian karena inilah yang menjadi kekhasan manusia dari mahkluk ciptaan yang lain.
Penolakan akan dimensi ini berarti merendahkan martabat manusia. Yang dimaksudkan penolakan adalah adanya sikap atau paham yang memandang kerja sebagai suatu yang tidak manusiawi. Palto adalah salah satu manusia yang melihat kerja sebagai yang negatif. Kerja bukanlah aktivitas manusiawi karena kerja menghambat dan menekan daya penalaran manusia. Baginya yang paling penting adalah pengembanagan akal budi. Dalam konteks sekarang apa yang dikatakan plato ini tidak terlalu berpengaruh. Yang paling berpengaruh adalah teknologi[2].  Boleh dikata teknologi menjadi salah satu penyebab penolakan akan dimensi kerja ini. Teknologi dengan cara kerja yang sangat canggih membuat manusia kehilangan identitasnya sebagai mahkluk pekerja. Artinya teknologi menjadi pengedali utama kegiatan manusia. Dan manusia bukan lagi faktor penentu peradaban tetapi teknologi. Sehingga kerja tidak menjadikan manusia semakin manusiawi. kerja mengaleniasi manusia dari dirinya sendiri dan menjadi sumber ketidakadilan. Ketidakadilan ini timbul karena ada yang memperlakukan sesamanya untuk mencari keuntungan. Contohnya dalam dunia perekonomian atau perindustrian. Kegitan perindustrian adalah kegiatan menghasilkan suatu barang untuk meningkatkan nilai guna dan nilai jual barang tersebut. Nilai guna dan nilai jual ini diproleh dari kegitan tenaga kerja. Pemilik modal memperkerjakan tenaga kerja dengan upuh yang rendah sementara mereka bekerja bekerja secara maksimal. Singkat kata dalam kegitan produksi adanya pemerasan tenaga kaum buruh oleh para pemilik modal. Pemilik modal sebagai kelas atas menguasai kaum buruh sebagai kelas bawah. Inilah titik tolak konflik yang melahirkan ketidakadilan sosial dalam konteks kerja. Sebenarnya kerja bukanlah aktivitas yang membuat manusia semakin terasing dari dirinya. Kerja tetap menjadi hal yang terpenting untuk membentuk diri dan demi kelangsungan hidupnyaMaka terhadap masalah ini, gereja melalui wewenang paus menyuarakan kebenaran. Paus Leo ke XIII mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum. Ensklik ini berbicara mengenai masalah sosial yakni ketidakadilan dalam kerja. Dan sembilan puluh tahun kemudian Paus Yohanes Paulus ke II mengeluarkan ensiklik Laborem Exsersens. Ensklik ini dikelurkan bukan sekedar untuk memperingati lahirnya ensiklik Rerum Novarum tetapi karena permasalah ketidakadilan dalam dunia kerja semakin berkembang.Laborem Exsersens lebih menekankan kerja sebagai unsur hakiki dari segala masalah sosial. Kerja pada hakekatnya terarah pada pengaktualisasian diri manusia dan sebagai tugas yang diberikan oleh Allah kepadanya. Hal ini tergambar jelas dalam kitab Kejadian yakni Allah memerintah manusia untuk menguasai dan menaklukkan apa yang ada di atas bumi. Perintah untuk menguasai dan menaklukkan bumi bukan sekedar tindakan menghabiskan kekayaan alam tetapi juga merawat dan memeliharanya. 2.      Isi (Konflik antara Kerja dan Modal Pada Tahap Sejarah Masa Kini)
Dimensi-dimensi Konflik            Ajaran gereja mengenai kerja didasarkan pada teks-teks Kitab Suci yakni pada kitab Kejadian. Kerja manusia dipandang sebagai suatu kenyataan yang besar dan mendasar dalam mempengaruhi pembentukan manusiawi dan dunia. Itu berarti manusia sebagai pelaksana kerja dengan kegiatan rasionalnya. Dan kerja pada dasarnya bersifat positif, kreatif, mendidik dan berjasa. Dengan demikian sifatnya ini menjadi salah satu standarisasi dalam mengambil penilaian menegnai kerja dalam bidang-bidang yang meliputi hak-hak manusiawi. Seperti halnya dalam pernyataan-pernyataan internasional mengenai kerja dan dalam kaidah-kaidah kerja yang disiapkan oleh lembaga-lembaga perundang-undangan yang kompeten di berbagai negara atau organisasi yang membaktikan pada kegiatan ilmiah atau sosial mengenai masalah-masalah kerja.            Permasalah sosial yang seringkali terjadi adalah ketidakadilan. Ketidakadilan ini bermuara pada hal-hal yang esensial dalam diri manusia yakni kerja. Sumber permasalahnya adalah konfilik antara pemilik modal dan kaum buruh. Pemilik modal dalam kebijakan produksi menuntut kaum buruh untuk bekerja berdasarkan standarisari yang ditentukan tetapi dengan upah yang sangat rendah. Dengan demikian adanya penghisapan tenaga para buruh secara tidak manusiawi. Oleh marx Konflik ini desebut sebagai pertentangan anatara kelas yakni kelas pemilik modal (kelas atas) dengan kaum buruh (kelas bawah)[3]. Bagi Marx penghapusan kelas ini menjadi jalan untuk menghilangkan ketidakadilan. Dan ia menawarkan kolektivitas upaya-upaya produksi yakni penghapusan hak milik pribadi. Prioritas kerja            Konflik yang terjadi dalam dunia masa kini dipengaruhi oleh manusia dan cara kerja teknologi. Salah satunya adalah penemuan nuklir yang bisa menghancurkan seluruh dunia. Terhadap situasi ini gereja mengangkat suatu prinsip yakni prinsip prioritas kerja terhadap modal. Artinya adalah kerja harus dilihat sebagai peyebab pertama sedangkan modal atau seluruh perangkat-perangkat upaya-upaya produksi sebagai instrument belaka. Prinsip itu menjadi suatu kebenaran yang jelas, yang tampil berdasarkan keseluruhan pengalaman historis manusia. Manusia diperintahkan Allah untuk menaklukkan bumi yakni semua sumber daya yang tercakup di dalamnya. Dan sumber-sumber daya itu hanya dapat mengapdi manusia melalui kerja. Tetapi ketika kerja dikaitkan dengan modal timbulah permasalahan. Yang dimaksudkan dengan modal mencakup sumber-sumber daya alam dan seluruh perangkat atau upaya yang digunakan manusia untuk menggali sumber-sumber itu untuk kemudian diolah menurut kebutuhannya. Semua usaha itu adalah hasil warisan sejarah kerja manusiawi. Baik yang bersifat primitif misalnya memotong kayu dengan kapak batu maupun dalam dunia modern ini (ada mesin-mesin pemotong atau komputer). Baik kapak, ataupun mesin adalah instrument yang dihasilkan oleh kerja.Dan pada dasarnya modal tidak bisa dipisahkan dengan kerja. Tetapi kemudian keduanya saling bertentangan ketika struktur dan sistem ekonomi dan produksi berjalan. Sistem produksi menyempitkan kerja itu sendiri yakni kehilangan aspek subjektif kerja. Sehingga kerja manusiawi dipandang melulu dari sudut tujuan ekonomisnya. Dan hal ini akan jatuh pada kesesatan materialisme yakni mengagungkan apa yang bendawi dan mengabaikan hal rohani.   Kerja dan KepemilikanPersoalan yang terjadi dalam dunia ekonomi adalah kenyataan bahwa ada dua golongan dalam proses produksi. Persoalan tersebut berhubungan dengan paham tentang kerja dan kepemilikan. Pembicaraan tersebut (kerja dan pemilikan) bukan membahas tentang suatu paham-paham abstrak atau tentang “kekuatan-kekuatan impersonal” yang bekerja dalam produksi ekonomi. Kelompok produksi tebagi menjadi dua yakni golongan kapitalis dan golongan buruh. Para kapitalis berperan sebagai pemiliki modal. Para buruh yang bekerja dengan kegiatan produksi tersebut tidak memiliki hak kepemilikan terhadap modal. Kegiatan produksi menjadi kekuasaan para kapitalis.
Gereja dalam menghadapi situasi ini tidak menganut paham yang sejalan dengan program kolektivisme dan kapitalisme yang dilaksanakan oleh liberalisme. Gereja tidak mengakui kedaulatan suatu hak milik secara mutlak. Tradisi Gereja senantiasa memahami hak itu dalam konteks yang lebih luas. Semua orang memilki hak dalam menggunakan harta-benda seluruh ciptaan. Hak atas milik perorangan terbawahkan kepada hak atas penggunaan bersama. Milik kepunyaan itu harus diperuntukan bagi kesejahteraan bersama atau umum.
Kepemilikan tidak diartikan oleh Gereja sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan konflik perihal kerja. Kapitalisme yang ketat tidak boleh mendapat tempat. Modal itu pada dasarnya merupakan ciptaan dari kerja yang terlaksana berkat semua produksi. Berbagai upaya itu juga adalah sanggar kerja besar, tempat generasi kaum pekerja berjerih-payah dari hari ke hari. Kerja pada dasarnya juga bukan hanya melibatkan keterampilan tangan tetapi juga keterampilan akal budi. Gereja tidak menyetujui keputusan yang secara a priori menghapus pemilikan perorangan dalam upaya-upaya produksi. Usaha perebutan upaya-upaya produksi (modal) dari para pemilik tidak memberi jaminan pasti bahwa sosialisasinya terjadi secara memuaskan. Kelompok lain yang mengelola kepemilikan tersebut di bawah otoritas nasional hanya mengelolanya pada tingkat seluruh ekonomi nasional atau setempat. Sosialisasi terwujud apabila sifat subyek masyarakat dijamin. Para pekerja hendaknya tidak terasing dengan pekerjaannya. Artinya, setiap pribadi berhak penuh untuk memandang dirinya ikut memiliki sanggar kerja tempat ia bekerja. Setiap anggota perlu diperlakukan sebagai pribadi dan bukan dieksploitasi.
 Argumen Bernada “Personalisme”Para pekerja berusaha menggunakan semua upaya produksi. Ia mencita-citakan bahwa buah-hasil kerjanya itu dimanfaatkan olehnya dan orang lain. Keterlibatan secara penuh dari pihaknya perlu dalam proses kerjanya sendiri. Kerja itu sendiri lebih terlihat sebagai daya yang mengungkapkan personalisme para pekerja. Para pekerja bukan saja menuntut imbalan, tetapi agar proses produksi tersebut merupakan bagian miliknya. Dengan kata lain, tidak ada kesan bahwa ia menjadi sama dengan bagian kecil dari mesin produksi semata.Gereja mengajarkan bahwa kerja menusia tidak hanya menyangkut urusan ekonomi, tetapi harus menyangkut perlakuan yang pantas terhadap nilai-nilai pribadi manusia. Manusia yang bekerja harus sampai pada suatu tujuan yakni bahwa ia bekerja bagi dirinya sendiri. Kerja menjadi bagian dari ekspresi akan eksistensi dirinya. Rasa memiliki dari para pekerja akan aktivitas kerjanya akan meredahkan krisis proses produksi dalam dunia ekonomi. Penerapan ini tentu akan menghindarkan produksi dari berbagai kerugian yang menimpa seluruh proses ekonomi baik kerugian ekonomis maupun kerugian terhadap manusia sendiri. 3.         Penerapannya dalam Konteks Indonesia
   Peningkatan Sumber Daya Manusia
Pemerintah Indonesia pada periode ini memberi perhatian terhadap elemen kerja. Bahkan kabinet pemerintahannya dinamakan Kabinet Kerja. dalam kenyataan sumber daya alam yang melimpah, para pekerja di Indonesia mengalami kendala yang datang dari pihak-pihak pemilik modal (kapitalis). Para pemilik modal menjadi penguasa bagi para buruh dan dinamika perekonomian. Standard upah masih dipegang kendali oleh para kapitalis.Peningkatan mutu sumber daya manusia perlu diterapkan dalam masyarkat. Indonesia merupakan negeri yang memiliki ketersediaan sumber daya alam melimpah.  Kemampuan manusia Indonesia yang kurang memadai akan memberi ruang eksploitas dari pihak luar. Eksploitasi itu tersebut bisa terhadap modal atau pun jasa.  Penerapan ini bertujuan agar para buruh lebih kritis terhadap tindakan para penguasa modal. Sarana yang dapat dipakai untuk tujuan tersebut adalah pendidikan. Pendidikan  harus membina karakter masyarakat agar dalam kerja ia tidak sekedar bekerja untuk upah tetapi lebih terarah kepada kepentingan semua orang. Ia harus menjadi bagian dari proses produksi mengingat bahwa ketersediaan modal berasal dari negerinya.        Pengelolaan Sumber Daya Alam yang BijakPengolahan sumberdaya alam selalu melibatkan kerja manusia. Cara kerja manusia dalam pengolahan sumberdaya itu menentukan kehidupan manusia itu sendiri. Kita mengetahui bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki sumberdaya alam yang sangat melimpah. Sumber daya alam ini memiliki tingkatan nilai ekonomis. Ada sumber daya alam yang nilai eknomisnya tinggi, sedang dan rendah. Sumber daya alam yang nilai ekonomis yang tinggi seperti: emas, minyak intan, besi dan batu bara dan ada yang memiliki nilai ekonomi sedang dan rendah seperti: batu, kayu, pala, dan rempah-rempah. Sumberdaya alam ini harus dikelola. Siapa yang mengelolanya dan dengan cara apa?
Subjek yang mengelola sumberdaya alam ini tidak lain adalah seluruh elemen masyarakat Indonesia. Yang walaupun dalam kenyataannya pihak yang menanggani hal ini adalah para pemerintah dalam hubungannya dengan para pemilik modal. Para pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam ini harus didasarkan pada perundangan-undagan (UUD 1945). Tujuannya adalah untuk kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia.Namun secara de fakto, hasil dari pengolahan sumberdaya alam itu tidak terarah secara maksimal dalam membangun kesejahteraan masyarakat. perekonomian berjalan timbang. Dikatakan demikian, karena pihak yang berwenang tidak bijak dalam mengelolanya.  Singkat kata Pemerintah dalam hubungan dengan para pemilik modal kurang memadai dalam mengambil kebijakan.  Tolak ukur ketidakbijakan ini adalah masih banyak masyarakat Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Sebenarnya pengelolaan yang bijak akan sumberdaya alam ini, konflik dalam dunia kerja semakin berkurang. KepustakaanMenezes, J. Innosencio. Manusia dan Teknologi. Yogyakarta: Kanisius, 1986.Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx. Jakarta: Gramedia, 1999.

[1] J. Innosencio Menezes, Manusia dan Teknologi, Yogyakarta: Kanisius, 1986. Hal.9.
[2] Ibid., hal. 10.
[3] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx, Jakarta: Gramedia, 1999, Hal.112-113


Jumat, 17 Agustus 2018

TRI-OS


RELASIONAL TRI-OS
LOGOS (ALLAH), ANTROPOS (MANUSIA) DAN KOSMOS (BUMI)
(Sebuah tinjauan Filsafat dan Teologi)
Pendahuluan
Allah, manusia dan alam semesta merupakan tema utama dalam ranah filsafat. Ketiga tema ini dilihat sebagai satu kesatuan dan saling berkaitan. Ketika filsafat membicarakan tentang Allah, dengan sendirinya filsafat membicarakan tentang manusia dan alam. Mengapa demikian? Sebab Logos (Allah) adalah pusat dari segala yang ada (manusia dan alam). Segala yang ada berawal dan menuju pada Logos. Manusia berziarah menuju dan berakhir pada kesempurnaan yakni Logos itu sendiri. Dan dalam proses itu manusia berpijak pada alam. Alam yang dipijak oleh manusia itu adalah alam yang dinamis. Dikatakan dinamis karena alam memberi kehidupan kepada manusia secara berkala.
Alam yang dinamis serta manusia yang berziarah mengambarkan kehadiran Logos. Di sinilah letak dimensional kesejarahan Logos yakni yang hadir dalam ruang dan waktu (manusia dan alam). Dengan demikian relasional tri-os (Logos, Antropos dan Kosmos) bukan suatu yang absurd tetapi nyata dan menyejarah (historisitas).
Logos yang Terlibat
Allah yang “ada” adalah Allah yeng terlibat dalam kehidupan manusia. Allah hadir dalam pengalaman-pengalaman keseharian manusia. Keterlibatan-Nya ini menunjukkan bahwa Allah itu menyejarah. Armada Riyanto mengatakan:
Pada prinsipnya, yang saya maksudkan Tuhan pun menyejarah memiliki kebenaran dan hidup sehari-hari, dalam pengalaman gelap dan terang hidup manusia, dalam kerinduan dan harapan dan kecemasan manusia. Tuhan adalah Tuhan yang terlibat dalam hidup sehari-hari (Menjadi Mencintai, Hal. 21).
Hal ini menunjukkan bahwa Allah dan manusia adalah suatu kesatuan. Allah untuk manusia dan manusia untuk Allah. Allah untuk manusia sudah terbukti dalam sejarah. Sehingga Allah yang menyejarah tidak lain adalah Allah yang “mengada”. Mengada berarti ia yang menyebabkan kehadiran manusia dan segala sesuatu yang ada.
Ia adalah asal dan tujuan dari segala sesuatu atau dari segala apa yang ada. Allah adalah segalanya dan semuanya. Ia yang memungkinkan segala apa yang ada ini tercipta. Tidak ada ciptaan di luar kehendak Allah. Ia terlibat.  (MM, Hal. 22).
Pembuktian keterlibatan Allah tercermin dalam action manusia. Tentu tindakan yang berdimensi baik, benar dan adil. Dan kehadiraan Allah akan teraktualisasi jika manusia membuka diri. Apa artinya membuka diri? Membuka diri berarti adanya pengosongan diri (kenosis) yakni suatu proses melepaskan. Melepaskan segala ketidakjelasan orintasi hidup dan membiarkan Logas berkerja. Ketika Logos bekerja maka dengan sendirinya Ia terlibat.
Baik Etis-Pola Penziarahan Manusia
            Manusia yang berziarah adalah manusia yang mencari, mengejar dan menciptakan sejarah hidup. Dalam penziarahan itu manusia menempatkan diri sebagai aktor utama. Manusia tidak tinggal diam. Ia harus aktif yakni mengaktifkan seluruh pontensialitasnya, baik itu potensi intelektual, emosional, spiritual maupun fisikal. Dan Potensi-potensi inilah yang membuktikan kemanusiaan manusia. Yang dimaksud dengan unsur kemanusiaan adalah “kodrat yang tunggal, tetap, sama dan sederajat”.
Kemanusiaan berarti itu yang merupakan hakikat manusia. Berhadapan dengan manusia berarti berhadapan dengan kemanusiaan. Sebagai hakekat, manusia harus saling menghormati (MM, Hal. 10)
Menghormati adalah model hidup yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Menghormati sangat erat kaitannya dengan berbuat baik. Ketika seseorang berbuat baik berarti ia sedang menghormati sesama. Sehingga baik harus menjadi karakter alamiah manusia. Dan baik yang saya maksudkan adalah baik dalam prespektif Aristoteles.
Baik adalah kata yang dipakai dalam konteks etika. Etika merupakan filsafat yang berbicara tentang perbuatan manusia. Baik, kata Aristoteles, adalah itu yang segala bentuk perbuatan manusia ingin mengejarnya. Kehendak manusia jelas selalu ingin meraih kebaikan (MM, Hal. 44).
Baik menunjukkan bahwa manusia adalah mahkluk yang berakal, rasional dan relasional. Baik-etis juga mengambarkan realitas manusia yang utuh dan sempurna. Mengapa demikian? Sebab baik-etis ini mampu menciptakan sebuah keindahan hidup. Keindahan itu tidak lain adalah kesempurnaan. Tentu keindahan itu bukan perkara “baik” semata tetapi juga menjadi tujuan dari perjalanan jiwa. Jiwa itu berproses menuju kesempurnaan. Jiwa yang besar itu tidak hanya terungkap dalam melakukan hal yang besar tetapi juga dalam melakukan hal yang kecil.  Contonya adalah ibu Teresia. Ia tidak pernah melakukan karya yang luar biasa melainkan hal-hal yang dianggap sepele oleh kebanyakan orang.
Dari Teresia kita belajar jiwa yang melakukan penziarahan indah menuju sang keindahan itu sendiri. Teresia mengantar manusia kepada pengetahuan mengenai jiwa. Ia memberi contoh bagaimana sebuah hidup yang sederhana, bagaimana aktivitas yang-dalam pandangan mata-spele, jiwa manusia mampu menggapai kreativitas yang sangat indah dan luar biasa. Semacam, menuntut keyakinan Teresia, keangungan cinta jiwa (manusia) tidak terletak di peristiwa hebat dan luar biasa, tetapi di jalan-jalan kecil keindahan sehari-hari (Mm, Hal. 12)
Itu berarti pengalaman keseharian memuat berbagai macam nilai kehidupan. Dan nilai itu mengarahkan manusia pada kesempurnaan hidup yakni pada logos itu sendiri. Namun nilai-nilai itu terkadang hilang dari pandangan manusia. Hal ini terjadi karena manusia lebih mengutamakan kepuasaannya (eros). Dan kedudukan eros sangat bertentangan dengan kodrat jiwa. Para filsuf klasik mengamini hal ini sebagai suatu kebenaran. Plato yang adalah salah satu filsuf klasik mengatakan bahwa “tubuh adalah penjara bagi jiwa” (MM, Hal. 12). Tubuh menjadi penghalang bagi jiwa untuk sampai pada logos. Tetapi sebenarnya tubuh tidak melulu direduksi sebagai yang negatif. Tubuh direduksi secara negatif, pertama-tama karena ia bersifat: sementara, tidak abadi atau kekal. Singkat kata tubuh selalu dalam dimensi kesementaraan.
            Berziarah juga bukan hanya perkara tubuh dan jiwa semata tetapi juga perkara akal budi. Akal budi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Manusia sebagai subjek yang otonom tidak lain adalah manusia yang berakal. Decartes mengatakan “cogito ergo sum” yang berarti aku berpikir maka aku ada” (Mm, hal. 16). Berpikir tidak lain adalah aktivitas “mengada” atau “menjadi”. Mengada menunjukkan bahwa manusia tidak berhenti pada ketidaktahuan. Manusia selalu mencari tahu apa yang tidak dikenalnya. Pencarian ini kemudian terarah pada pengenalan personalitasnya. Maka pengenalan dalam penziarahan itu harus dilandasi dengan pola baik-etis.
Estetika Alam (kosmos)
            Alam itu indah. Keindahannya nampak dalam keberagaman unsur atau komponen yang ada. Sebagai contoh: adanya pergantian musim, adanya keanekaragaman binatang, pohon maupun pesona-pesona yang lainnya. Singkatnya alam itu memuat segala keindahan. Dan keindahannya tidak diperuntukkan untuk dirinya sendiri. Keindahannya selalu dalam konteks “memberi”. Ia memberinya kepada manusia.
            Alam juga dilihat sebgai locus bagi manusia untuk mengada dan menjadi. Tanpa alam manusia tidak ada. Itu berarti alam turut membantu penziarahan manusia.
Alam pendek kata-adalah dinamika kesempurnaan hidup manusia itu sendiri. Alam seakan menjadi rujukan bagi ritme hidup sehari-hari. Alam juga seolah menata bagaimana manusia mesti menjalani aktivitasnya (MM, Hal. 29).
Alam juga memberi rasa kebahagiaan kepada manusia dengan keindahannya, sekaligus memberi rasa kekaguman melalui keunikan. Maka kita sebagai manusia tidak boleh melihat alam sebagai objek. Kita harus menempatkan alam sebagai ibu yang selalu memberikan kehidupan. Jika demikian, diri kita akan terbentuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Artinya kita berperan sebagai pemelihara alam.
           Apa arti menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Pemaknaan kata tanggungjawab selalu dalam konteks kerja. Dengan demikian tanggung jawab tidak lain adalah bekerja. Apalagi kerja bagi manusia adalah suatu panggilan.
Dalam Enseklik Laborem Exercens (Paus Yohanes Paulus ke II) dikatakan dengan jelas bahwa kerja adalah bagian integral dari martabat manusia. Kerja tidak hanya sekedar aktivitas yang mereduksi sesuatu atau menghasilkan uang. Kerja adalah cetusan dari martabat manusiawi (MM, Hal. 121).
Dengan demikian, manusia harus mengaktualisasikan rasa tanggungjawab dalam keseharian hidupnya. Baik tanggungjawab terhadap dirinya, sesama maupun terhadap alam semesta. Tanggungjawab itu harus diposisikan secara seimbang. Manusia tidak boleh mengutamakan yang satu dan yang lain diabaikan. Misalnya manusia hanya bertanggungjawab terhadap dirinya dan mengabaikan alam semesta. Model tanggungjawab seperti ini tidak menunjukkan hakekat manusia.
Kesimpulan
            Allah yang “ada” adalah Allah yang menyejarah. Ia terlibat dalam seluruh dinamika kehidupan manusia yang sedang berziarah. Dan penziarahan manusia adalah penziarahan menuju kesempurnaan yakni Logos (Allah). Dalam penziarahan itu manusia bertumpu pada kosmos. Kosmos ini dikenal sebagai ibu yang menghidupkan. Dikatakan demikian karena dalam dirinya ada keindahan dan kekayaan. Alam yang menghidupkan tidak lain karena adanya partisipasi sang Logos. Logos menjadi sumber dari segala yang ada. Dengan demikian: Logos, antropos dan kosmos adalah satu kesatuan. Logos harus dilihat sebgai peyebab yang mengadakan antropos dan kosmos. Maka manusia dan alam tidak dapat berdiri sendiri tanpa Logos.


LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI (CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MA...