Jumat, 02 Maret 2018

estetika rene descartes


Paham Estetika Rene Descartes

Pendahuluan

            Rene Descartes mendasari filsafatnya dalam acuan sebuah keraguan atau skeptis[1]. Ia mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima suatu kebenaran karena sebuah pengandaiaan semata[2]. Kita harus meragukan atau menyangsikan segala apa yang ada yang tidak secara pasti kita mengetahui kebenarannya.
            Baginya suatu kebenaran mutlak diterima setelah diverifikasi melalui sebuah keraguan. Dengan demikian, metode yang digunakan dalam berfilsafat Descartes adalah peyangsian yang bersumber pada rasional subjek. Hal ini sangat jelas dalam pemikirannya yang berbunyi “cogito ergo sum” aku berpikir maka aku ada[3]. Aku adalah subjek yang menjadi rujukan dalam menemukan kebenaran itu. Kebenaran yang lahir dari rasional subjek adalah kebenaran yang pasti. Tetapi bahwa tidak semua hal harus kita ragukan kebenarannya. Ia mengatakan bahwa hanya ilmu pasti yakni matematika dan geometrilah yang tidak perlu diragukan kebenarannya.  
            Gambaran utama filsafat Descartes adalah epistemologi. Epistemologinya mencakup berbagai macam tema seperti: dualisme jiwa dan badan, Tuhan, dan sebagian kecil tentang estetika. Pada kesempatan ini saya hanya membahas tentang kedudukan Estetika. Estetika Descartes adalah estetika yang lahir dari epistemologi. Estetika baginya tidak bisa terlepas dari kedudukan rasio manusia yang berfungsi menentukan suatu kebenaran. Estetika itu menyangkut kebenaran yang di dalamnya terdapat kejelasan dan keterpilahan. Itu berarti penilaian terhadap estetika berangkat dari epistemologi yakni soal jelas dan terpilah. Jelas dan terpilah mengatakan bahwa kesenian itu harus terserap dalam rasio subjek
Rasionalisme dan Wacana Estetika[4] 
            Rasionalisme menjadi aliran pemikiran Descartes. Dikatakan demikian karena sumber pengetahuan dapat dikenal melalui ratio dan nalar. Dan dalam konteks wacana estetika kita temukan dalam pemikirannya seperti:  
Kelahiran Epistemologi Modern sebagai Prakondisi Disiplin Estetika[5]
Untuk sampai pada kebenaran sangat diperlukan sikap skeptis. Dengan cara seperti ini Descartes menemukan kriteria utama yang menjamin kepastian pengetahuan yakni kejelasan dan keterpilahan. Hanya ide-ide yang memiliki kejelasan dan keterpilahanlah yang bisa disebut sebagai ide yang benar. Dengan demikian kebenaran mensyarakatkan kejelasan dan keterpilahan. Ada empat langkah yang ditawarkan Descartes dalam menemukan kebenaran dari segala sesuatu. 
Pertama, kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil sesuatu keputusan dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan. Kedua, setiap persoalan yang diteliti harus dipilah-pilah ke dalam hal-hal yang paling kecil sejauh itu mungkin dilakukan. Ketiga, berangkat dari hal-hal yang induktif atau khusus ke hal-hal yang dediktif atau umum. Keempat, setiap persoalan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan[6]
Ide yang jelas adalah ide yang hadir secara langsung di hadapan akal budi kita tanpa perantara ingatan, prasangka atau hambatan lainnya. Contoh 2+2 =4 lebih jelas dalam akal budi kita, dibandingkan dengan pohon mangga di halaman depan kampus yang kita lihat minggu lalu. Sedangkan sebuah ide dikatakan terpilah-pilah bila ide tersebut dapat dibedakan dari ide-ide lain yang menyerupainya. Contoh, ide tentang 2 lebih terpilah dengan nada 2 “re” dan lebih terpilah dengan ide tentang aroma.
Hubungannya dengan estetika adalah soal sensasi artistik dengan karya seni yang dapat digolongkan sebagai perspeksi jelas tetapi tidak terpilah-pilah. Contoh, ketika kita kesakitan karena kepala kita terbentur tembok, rasa sakit itu jelas hadir dalam akal budi kita, tetapi tidak betul-betul terpilah dari perasaan yang mendampinginya seperti: rasa pusing, ngilu perih, atau kesan berkunang-kunang. Demikanpun dengan sensai artistik. Saat kita memandang sebuah lukisan yang indah, kita sulit memilah antara rasa indah dengan rasa yang ditimbulkan oleh berbagai bagian dari karya maupun rasa yang timbul dari asosiasi makna karya tersebut. 
Rasionalisme Jiwa dan Pakem Akademi[7]
Bagi Descartes jiwa manusia sungguh-sungguh ada dan tidak dapat diciutkandalam komponen-komponen badani semata. Jiwa yang berkordinator dengan tubuh akan mewujudkan aktivitas manusia tertentu. Untuk itu ia menguaraikan bentuk-bentuk afeksi dalam jiwa dan bagaimana afeksi tersebut mewujud dalam fisiologi manusia.  Misalnya rasa benci selalu diiringi oleh denyut nadi yang tak teratur dan lebih cepat. Karena perasaan adalah gerak jiwa yang mengemukakan dalam manifestasi fisiologi  tertentu, Descartes kemudian merinci juga bentuk-bentuk ekspresi visual dari perasaan. Misalkan, rasa bahagia diiringi dengan denyut nadi yang lebih cepat maka aliran darah pun mengalir dengan cepat sehingga warna kulit cendrung memerah, sementara kesedihan akan tampak dalam warna wajah yang pucat karena kesedihan  selalu diiringi oleh denyut nadi yang lebih pelan.
Pengaruh estetika Descartes tampak dalam diskusi-diskusi yang diadakan dalam akademi seni lukis patung kerajaan. Charles Le Brun seorang pelukis memberikan    kuliah tentang tentang metode pengungkapan perasaan secara visual.  Ia berangkat dari posisi dasar pemikiran Descartes “perasaan adalah suatu gerak dalam jiwa”.
Estetika sebagai Epistemologi (Aleksander G. Baumgarten)
            Baumgartes adalah penemu disiplin estetika. Walaupun demikian kajian disiplin kajian filsafat seni sudah ada sebelumnya. Estetika Baumgartes memiliki kekhasan tertentu yakni warna rasionalis. Ia mengikuti epistemologi filsafat modern yang bermula dari Descartes. Baumgarten mengartikan estetika sebagai kajian tentang salah satu bentuk pengetahuan manusia, yakni pengetahuan indrawi. Baginya bahasa seni adalah bahasa indra. Apa yang diungkapkan oleh karya seni adalah selalu menyatakan indrawi tertentu. Ada beragam bentuk kenyataan indrawi yang dinyatakan oleh karya seni seperti rasa sedih atau yang berurusan dengan warna. Dalam arti ini bahasa seni memiliki kemiripan dengan bahasa ilmu-ilmu empiris, sejauh itu berurusan dengan kesan indrawi.
      Namun wacana seni tetap berbeda dari wacana ilmu empiris. Wacana ilmu empiris masih berkisar antara bahasa indra dan bahasa konseptual. Wacana seni sepenuhnya berlandaskan pada bahasa indra. Inilah yang dimaksud Baumgarten sebagai wacana indrawi sempurna, dengan puisi sebagai salah satu contohnya. Dari sinilah ia menarik  dua jenis pendekatan yakni pendekatan rasional yang mengkaji bahasa konseptual murni yang disebut sebagai logika. Sedangkan pendekatan rasional yang mengkaji bahasa indrawi  murni desebut estetika. 
            Ia mengunakan ide Descartes mengenai ide yang jelas dan terpilah-pilah untuk mengatakan kesan indrawi yang ditimbulkan oleh karya seni. Menurutnya, karya seni yang baik adalah karya yang dapat menghadirkan ide atau kesan tertentu secara jelas tanpa perantara.

Relevansi Estetika Descartes
            Kita mengetahui bahwa Rene Descartes adalah seorang filsuf rasionalisme. Rasio sebagai acuan utama dalam menemukan kebenaran. Dan untuk sampai pada kebenaran itu metode yang digunakan adalah peyangsian. Tujuan dari peyangsian adalah untuk menemukan kebenaran yang berlandaskan pada kejelasan dan keterpilahan. Kita tidak boleh menerima suatu kebenaran sebelum mengetahui apakah kebenaran itu jelas dan terpilah dari kebanaran yang lain. Maksud keterpilahan dari kebenaran yang lain adalah supaya apa yang kita terima itu tidak tumpang tindih. Dan bawah kita dapat membedakan kebanaran yang satu dengan kebenaran yang lain. 
            Berhadapan dengan konsep atau pemahaman seperti ini, kita diajak untuk bersikap kristis terhadap segala kebenaran yang ada. Terlebih khusus semua kebenaran yang sepenuhnya belum kita ketahui secara lengkap. Kita perlu mengklarivikasi suatu pengetahuan sejauh itu terkesan kabur bagi rasio kita. Tujuannya adalah agar kita tidak terjebak dalam memahami apa yang ada sebagai suatu yang benar yang sebenarnya itu tidak benar. Dengan kata lain kita menerima suatu kebenaran setelah menemukan kejelasaannya dan terpilah dari kebenaran yang lain.  
            Sebagai mahasiswa, kita harus mengasah daya rasio. Pengasahan rasio bertujuan untuk mematangkan sekaligus memurnikan cara berpikir, yakni soal berpikir yang sistimatis, metodis dan struktur. Dalam kaitannya dengan keindahan atau estetika, Descartes mengajarkan kita soal cara menilai seni. Seni itu perlu dinilai secara jelas. Kesenian itu terletak pada kejelasannya terhadap rasio subjek.

Daftar Pustaka

                Bertens, K.  Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1983.

             Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

             Iswant, Andi. Descartes; Masa Transisi Historis Menuju Dunia Modern,Yogyakrta:        
             Jendela, 2003.

             Suseno, Franz Magnis.  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius,1992.

             Suryaja, Martin. Sejarah Estetika, Jakarta: Gang Kabel, 2016.



           







[2] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, Hal. 69.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Hal. 21.
[4] Martin Suryaja, Sejarah Estetika, Jakarta: Gang Kabel, 2016, Hal. 282.
[5] Ibid., 282-284
[6] Andi Iswant, Descartes; Masa Transisi Historis Menuju Dunia Modern, Yogyakrta: Jendela, 2003, Hal 47.
[7] Log. Cit., Hal 284-286.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI (CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MA...