Paham Estetika Rene Descartes
Pendahuluan
Rene Descartes mendasari filsafatnya
dalam acuan sebuah keraguan atau skeptis[1].
Ia mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima suatu kebenaran karena sebuah
pengandaiaan semata[2].
Kita harus meragukan atau menyangsikan segala apa yang ada yang tidak secara
pasti kita mengetahui kebenarannya.
Baginya suatu kebenaran mutlak
diterima setelah diverifikasi melalui sebuah keraguan. Dengan demikian, metode
yang digunakan dalam berfilsafat Descartes adalah peyangsian yang bersumber
pada rasional subjek. Hal ini sangat jelas dalam pemikirannya yang berbunyi “cogito ergo sum” aku berpikir maka aku
ada[3]. Aku adalah subjek yang
menjadi rujukan dalam menemukan kebenaran itu. Kebenaran yang lahir dari
rasional subjek adalah kebenaran yang pasti. Tetapi bahwa tidak semua hal harus
kita ragukan kebenarannya. Ia mengatakan bahwa hanya ilmu pasti yakni
matematika dan geometrilah yang tidak perlu diragukan kebenarannya.
Gambaran utama filsafat Descartes adalah
epistemologi. Epistemologinya mencakup berbagai macam tema seperti: dualisme
jiwa dan badan, Tuhan, dan sebagian kecil tentang estetika. Pada kesempatan ini
saya hanya membahas tentang kedudukan Estetika. Estetika Descartes adalah
estetika yang lahir dari epistemologi. Estetika baginya tidak bisa terlepas dari kedudukan rasio manusia yang berfungsi
menentukan suatu kebenaran. Estetika itu menyangkut kebenaran yang
di dalamnya terdapat kejelasan dan
keterpilahan.
Itu berarti penilaian terhadap estetika berangkat dari epistemologi yakni soal
jelas dan terpilah. Jelas dan terpilah mengatakan bahwa kesenian itu harus
terserap dalam rasio subjek
Rasionalisme dan Wacana Estetika[4]
Rasionalisme menjadi aliran
pemikiran Descartes. Dikatakan demikian karena sumber pengetahuan dapat dikenal
melalui ratio dan nalar. Dan dalam konteks wacana estetika kita temukan dalam
pemikirannya seperti:
Kelahiran Epistemologi Modern sebagai Prakondisi
Disiplin Estetika[5]
Untuk sampai pada
kebenaran sangat diperlukan sikap skeptis. Dengan cara seperti ini Descartes menemukan
kriteria utama yang menjamin kepastian pengetahuan yakni kejelasan dan
keterpilahan. Hanya ide-ide yang memiliki kejelasan dan keterpilahanlah yang
bisa disebut sebagai ide yang benar. Dengan demikian kebenaran mensyarakatkan
kejelasan dan keterpilahan. Ada empat langkah yang ditawarkan Descartes dalam
menemukan kebenaran dari segala sesuatu.
Pertama,
kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil sesuatu
keputusan dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas
sehingga mustahil disangsikan. Kedua, setiap persoalan yang diteliti harus
dipilah-pilah ke dalam hal-hal yang paling kecil sejauh itu mungkin dilakukan.
Ketiga, berangkat dari hal-hal yang induktif atau khusus ke hal-hal yang
dediktif atau umum. Keempat, setiap persoalan ditinjau secara universal atau
menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan[6].
Ide
yang jelas adalah ide yang hadir secara langsung di hadapan akal budi kita
tanpa perantara ingatan, prasangka atau hambatan lainnya. Contoh 2+2 =4 lebih
jelas dalam akal budi kita, dibandingkan dengan pohon mangga di halaman depan
kampus yang kita lihat minggu lalu. Sedangkan sebuah ide dikatakan
terpilah-pilah bila ide tersebut dapat dibedakan dari ide-ide lain yang
menyerupainya. Contoh, ide tentang 2 lebih terpilah dengan nada 2 “re” dan
lebih terpilah dengan ide tentang aroma.
Hubungannya
dengan estetika adalah soal sensasi artistik dengan karya seni yang dapat
digolongkan sebagai perspeksi jelas tetapi tidak terpilah-pilah. Contoh, ketika
kita kesakitan karena kepala kita terbentur tembok, rasa sakit itu jelas hadir
dalam akal budi kita, tetapi tidak betul-betul terpilah dari perasaan yang
mendampinginya seperti: rasa pusing, ngilu perih, atau kesan berkunang-kunang.
Demikanpun dengan sensai artistik. Saat kita memandang sebuah lukisan yang
indah, kita sulit memilah antara rasa indah dengan rasa yang ditimbulkan oleh
berbagai bagian dari karya maupun rasa yang timbul dari asosiasi makna karya
tersebut.
Rasionalisme Jiwa dan Pakem Akademi[7]
Bagi
Descartes jiwa manusia sungguh-sungguh ada dan tidak dapat diciutkandalam komponen-komponen badani semata. Jiwa
yang berkordinator dengan tubuh akan
mewujudkan aktivitas manusia tertentu. Untuk itu ia menguaraikan bentuk-bentuk afeksi dalam jiwa dan bagaimana
afeksi tersebut mewujud dalam fisiologi manusia. Misalnya rasa benci selalu diiringi oleh denyut nadi yang tak
teratur dan lebih cepat. Karena perasaan adalah gerak jiwa
yang mengemukakan dalam manifestasi fisiologi tertentu, Descartes kemudian merinci juga bentuk-bentuk ekspresi visual dari perasaan. Misalkan, rasa bahagia diiringi
dengan denyut nadi yang lebih cepat maka aliran
darah pun mengalir dengan cepat sehingga warna kulit cendrung memerah, sementara kesedihan akan tampak dalam
warna wajah yang pucat karena kesedihan selalu
diiringi oleh denyut nadi yang lebih pelan.
Pengaruh estetika Descartes tampak dalam
diskusi-diskusi yang diadakan dalam akademi
seni lukis patung kerajaan. Charles Le Brun seorang pelukis memberikan kuliah tentang tentang metode pengungkapan perasaan secara visual. Ia berangkat dari posisi dasar
pemikiran Descartes “perasaan adalah suatu gerak dalam jiwa”.
Estetika sebagai Epistemologi (Aleksander G. Baumgarten)
Baumgartes adalah penemu disiplin estetika.
Walaupun demikian kajian disiplin kajian filsafat seni sudah ada sebelumnya.
Estetika Baumgartes memiliki kekhasan tertentu yakni warna rasionalis. Ia
mengikuti epistemologi filsafat modern yang bermula dari Descartes. Baumgarten
mengartikan estetika sebagai kajian tentang salah satu bentuk pengetahuan
manusia, yakni pengetahuan indrawi. Baginya bahasa seni adalah bahasa indra. Apa
yang diungkapkan oleh karya seni adalah selalu menyatakan indrawi tertentu. Ada
beragam bentuk kenyataan indrawi yang dinyatakan oleh karya seni seperti rasa
sedih atau yang berurusan dengan warna. Dalam arti ini bahasa seni memiliki
kemiripan dengan bahasa ilmu-ilmu empiris, sejauh itu berurusan dengan kesan
indrawi.
Namun wacana seni tetap berbeda dari
wacana ilmu empiris. Wacana ilmu empiris masih berkisar antara bahasa indra dan
bahasa konseptual. Wacana seni sepenuhnya berlandaskan pada bahasa indra.
Inilah yang dimaksud Baumgarten sebagai wacana indrawi sempurna, dengan puisi
sebagai salah satu contohnya. Dari sinilah ia menarik dua jenis pendekatan yakni pendekatan
rasional yang mengkaji bahasa konseptual murni yang disebut sebagai logika.
Sedangkan pendekatan rasional yang mengkaji bahasa indrawi murni desebut estetika.
Ia mengunakan ide Descartes mengenai
ide yang jelas dan terpilah-pilah untuk mengatakan kesan indrawi yang
ditimbulkan oleh karya seni. Menurutnya, karya seni yang baik adalah karya yang
dapat menghadirkan ide atau kesan tertentu secara jelas tanpa perantara.
Relevansi Estetika Descartes
Kita mengetahui bahwa Rene Descartes
adalah seorang filsuf rasionalisme. Rasio sebagai acuan utama dalam menemukan
kebenaran. Dan untuk sampai pada kebenaran itu metode yang digunakan adalah
peyangsian. Tujuan dari peyangsian adalah untuk menemukan kebenaran yang
berlandaskan pada kejelasan dan keterpilahan. Kita tidak boleh menerima suatu
kebenaran sebelum mengetahui apakah kebenaran itu jelas dan terpilah dari
kebanaran yang lain. Maksud keterpilahan dari kebenaran yang lain adalah supaya
apa yang kita terima itu tidak tumpang tindih. Dan bawah kita dapat membedakan
kebanaran yang satu dengan kebenaran yang lain.
Berhadapan dengan konsep atau
pemahaman seperti ini, kita diajak untuk bersikap kristis terhadap segala
kebenaran yang ada. Terlebih khusus semua kebenaran yang sepenuhnya belum kita
ketahui secara lengkap. Kita perlu mengklarivikasi suatu pengetahuan sejauh itu
terkesan kabur bagi rasio kita. Tujuannya adalah agar kita tidak terjebak dalam
memahami apa yang ada sebagai suatu yang benar yang sebenarnya itu tidak benar.
Dengan kata lain kita menerima suatu kebenaran setelah menemukan kejelasaannya
dan terpilah dari kebenaran yang lain.
Sebagai mahasiswa, kita harus
mengasah daya rasio. Pengasahan rasio bertujuan untuk mematangkan sekaligus
memurnikan cara berpikir, yakni soal berpikir yang sistimatis, metodis dan
struktur. Dalam kaitannya dengan keindahan atau estetika, Descartes mengajarkan
kita soal cara menilai seni. Seni itu perlu dinilai secara jelas. Kesenian itu
terletak pada kejelasannya terhadap rasio subjek.
Daftar Pustaka
Bertens, K. Ringkasan
Sejarah Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1983.
Hadiwijono,
Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Iswant, Andi. Descartes; Masa Transisi Historis Menuju Dunia Modern,Yogyakrta:
Jendela, 2003.
Suseno,
Franz Magnis. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius,1992.
Suryaja, Martin. Sejarah Estetika, Jakarta: Gang Kabel, 2016.
[2] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis,
Yogyakarta: Kanisius, 1992, Hal. 69.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2,
Yogyakarta: Kanisius, 1995, Hal. 21.
[4] Martin Suryaja, Sejarah Estetika, Jakarta: Gang Kabel, 2016,
Hal. 282.
[5] Ibid., 282-284
[6] Andi Iswant, Descartes; Masa Transisi Historis Menuju Dunia Modern, Yogyakrta:
Jendela, 2003, Hal 47.
[7] Log.
Cit., Hal 284-286.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar