Dialog:
upaya mendamaikan pluralitas agama
Pengertian dialog dalam konteks pluralitas agama adalah
hubungan yang positif dan konstruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam
hubungan pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat dari agama-agama lain, yang
diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya, dalam ketaatan kepada
kebenaraan dan hormat terhadap kebebasan.[1] Itu berarti dialog
bertujuan untuk menciptakan perdamaian, kesejahteraan dan keharmonisan dan
hadir sebagai jembatan yang menghubungkan pluralitas agama. Artinya dialog
menjadi titik terang dalam meminimalisir konsekensi negatif pluralitas (konflik
antara agama). Dikatakan konflik karena dalam pluralitas agama itu tertanam sikap
egoisme yang radikal. Egoisme yang radikal itu memperlebar konflik.
Mengapa hal ini terus terjadi? Salah satu alasannya
adalah kurangnya ruang gerak dialog.
Semua pihak tidak memberi ruang terhadap“dialog” atas pluralisme agama. Sebenarnya
dialog itu tidak perlu diadakan sebab pada dasarnya pluralitas agama memiliki
suatu kekayaan yang luhur dan mulia. Edward Schillebeeckx mengatakan
“keberagaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, tetapi suatu
kekayaan yang harus diterima dan dinikmati oleh semua[2]. Dan menikmati pluralitas agama menjadi mungkin
jika adanya dialog perjumpaan.
Dialog dalam fenomena perjumpaan itu merangsang kita
untuk melihat secara lebih kritis dan semakin terdorong untuk memaknai bahwa
fenomen perjumpaan dengan agama yang lain itu bukan hanya sekedar sebagai
sebuah perjumpaan biasa. Fenomen perjumpaan bersama yang lain itu mengandaikan
sebuah empati yang mendalam[3]. Emanuel Levinas mengatakan
bahwa perjumpaanku dengan yang lain itu mendorong saya untuk melakukan tindakan
etis. Artinya, perjumpaan dalam dialog melahirkan sebuah tanggung jawab untuk
mencintai sesamanya[4].
Tanggung jawab itu kemudian mengarahkan orang pada sikap persaudaraan dan kerja
sama yang intensif.[5]
Dalam fenomen perjumpaan itu juga keterbukaan harus dikedepankan[6]. Dengan Keterbukaan sebuah
agama dapat diterima dan dipahami sebagai suatu yang unik sekaligus menjadi suatu
kekayaan. Dan pluralitas agama bukan lagi menjadi alasan terciptanya perpecahan
atau konflik.
[1] Armada Ryanto, Dialog Intrareligius. Yogyakarya: Kanisius, 2010, Hal. 39.
[2]Kardiman simbolon, Dialog Interreligius, sebuah Keharusan,
dalam Forum No. 1 Thn. XL 2012, Malang: STFT Widyasasa, Hal 41.
[4] Ibid., Hal. 66
[5] Benyamin
Yosef Bria, Melintas Sekat-Sekat Perbedaan
Menuju Indonesia Baru yang Pluralitas dan Inklusif. Denpasar: Yayasan
Pustaka Nusantara, 2007. Hal. 51.
[6] Ibid., hal 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar