Kamis, 08 Maret 2018

Dialog: Upaya mendamaikan Agama


Dialog: upaya mendamaikan pluralitas agama
Pengertian dialog dalam konteks pluralitas agama adalah hubungan yang positif dan konstruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat dari agama-agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya, dalam ketaatan kepada kebenaraan dan hormat terhadap kebebasan.[1] Itu berarti dialog bertujuan untuk menciptakan perdamaian, kesejahteraan dan keharmonisan dan hadir sebagai jembatan yang menghubungkan pluralitas agama. Artinya dialog menjadi titik terang dalam meminimalisir konsekensi negatif pluralitas (konflik antara agama). Dikatakan konflik karena dalam pluralitas agama itu tertanam sikap egoisme yang radikal. Egoisme yang radikal itu memperlebar konflik.
Mengapa hal ini terus terjadi? Salah satu alasannya adalah kurangnya  ruang gerak dialog. Semua pihak tidak memberi ruang terhadap“dialog” atas pluralisme agama. Sebenarnya dialog itu tidak perlu diadakan sebab pada dasarnya pluralitas agama memiliki suatu kekayaan yang luhur dan mulia. Edward Schillebeeckx mengatakan “keberagaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, tetapi suatu kekayaan yang harus diterima dan dinikmati oleh semua[2]. Dan  menikmati pluralitas agama menjadi mungkin jika adanya dialog perjumpaan.
Dialog dalam fenomena perjumpaan itu merangsang kita untuk melihat secara lebih kritis dan semakin terdorong untuk memaknai bahwa fenomen perjumpaan dengan agama yang lain itu bukan hanya sekedar sebagai sebuah perjumpaan biasa. Fenomen perjumpaan bersama yang lain itu mengandaikan sebuah empati yang mendalam[3]. Emanuel Levinas mengatakan bahwa perjumpaanku dengan yang lain itu mendorong saya untuk melakukan tindakan etis. Artinya, perjumpaan dalam dialog melahirkan sebuah tanggung jawab untuk mencintai sesamanya[4]. Tanggung jawab itu kemudian mengarahkan orang pada sikap persaudaraan dan kerja sama yang intensif.[5] Dalam fenomen perjumpaan itu juga keterbukaan harus dikedepankan[6]. Dengan Keterbukaan sebuah agama dapat diterima dan dipahami sebagai suatu yang unik sekaligus menjadi suatu kekayaan. Dan pluralitas agama bukan lagi menjadi alasan terciptanya perpecahan atau konflik.







[1] Armada Ryanto, Dialog Intrareligius. Yogyakarya: Kanisius, 2010, Hal. 39.
[2]Kardiman simbolon, Dialog Interreligius, sebuah Keharusan, dalam Forum No. 1 Thn. XL 2012, Malang: STFT Widyasasa, Hal 41.
[3] Ibid., Hal. 65.
[4] Ibid., Hal. 66
[5] Benyamin Yosef Bria, Melintas Sekat-Sekat Perbedaan Menuju Indonesia Baru yang Pluralitas dan Inklusif. Denpasar: Yayasan Pustaka Nusantara, 2007. Hal. 51.
[6] Ibid., hal 52.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI (CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MA...