Senin, 12 Maret 2018

Menjadi milik Maria


Maria “Mata Air Kerahiman yang Termeterai”

                                                                                                            Fr. Vandy Seda, SMM


            Maria disebut sebagai mata air kerahiman adalah suatu kebenaran iman. Kebenaran ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa Maria terlibat dalam karya keselamatan Allah. Keterlibatannya bukanlah sebagai pelengkap atau  sekedar “alat” yang pasif. Ia secara aktif dan penuh mengambil bagian di dalamnya. Keterlibatannya ini membawa suatu harapan baru bagi manusia. Harapan itu adalah gerbang Firdaus yang telah di tutup oleh Hawa lama dibuka kembali oleh Maria. Maria membuka kembali kehidupan itu melalui Yesus Kristus. Itu berarti Kristus dilihat sebagai pelaksana sekaligus puncak kerahiman Bapa.

Kerahiman Allah ini secara definitif dimulai pada peristiwa inkarnasi dan berpuncak pada salib.  Inkarnasi adalah peristiwa di mana Allah memposisikan diri sebagai manusia dalam diri Maria. Peristiwa salib yang adalah kurban Kristus paling agung. Kedua Peristiwa ini telah melibatkan Maria. Dengan demikian, Maria mengambil bagian dalam kerahiman Allah. Dan kerahiman Maria  sudah termeterai  olah Roh Kudus. “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah yang Mahatinggi akan menaungi engkau (Luk 1:35). Dalam konteks inilah Maria disebut sebagai “mata air” kerahiman yang termeterai. Mata air yang mengalirkan rahmat pengampunan dan keselamtan dari Allah . Maria turut membawa kembali orang berdosa pada kehidupan yang disebabkan oleh Hawa lama. Dosa atau kematian melalui Hawa sedangkan kehidupan melalui Maria. Perlu  diketahui bahwa, keterlibatan Maria  ini bukan menjadi alasan bahwa Allah itu terbatas, malahan sebaliknya.  Allah pada hakekatnya tidak terbatas, tetapi Allah tidak memilih jalan lain untuk melaksanakan karya-Nya kecuali dalam Maria.



Misteri Kejatuhan Manusia dalam Dosa

Kejatuhan manusia dalam dosa dikisahkan dalam kitab Kejadian. Kejatuhan itu pertama-tama karena manusia menggunakan kebebasan secara salah. Perlu diketahui bahwa kebebasan yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah kebebasan etis. Kebebasan yang hanya untuk mentaati perintah Allah (Steinar Solbekken, Eksposisi Kitab Kejadian, Hal. 56).

            Tetapi pada kenyataannya manusia tidak mengunakan kebebasan itu sesuai dengan maksud Allah. Ia menggunakannya untuk keinginannya sendiri yakni untuk menjadi seperti Allah bahkan melampaui Allah. Artinya manusia memilih untuk tidak taat pada Allah dan lebih taat pada apa yang dikatakan ular.

Hal ini menjadi nyata ketika manusia itu tidak menaati apa yang dijanjikan oleh Allah. Janji Allah yang mengatakan “semua pohon yang ada dalam taman ini boleh kamu makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kamu makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pasti engkau mati (Kejadian 2:16-17). Manusia tidak mengindahkan apa yang dikatakan Allah ini. Akibatnya Allah mengusir manusia itu dari taman Eden dan menetapkannya pada suatu taman baru. Taman baru itu bukanlah seperti taman Eden, sebab Allah mengutuk tanah itu. “Terkutuklah tanah karena engkau, dengan susah payah engkau akan mencari rejekimu dari tanah seumur hidupmu: semak duri dan rumput duri yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi makananmu (Kej 3:17-18).

Inilah awal kesengsaraan atau penderitaan manusia. Dan penderitaannya yang paling dalam adalah merasa ditinggalkan oleh Allah. Tetapi kemudian penderitaan itu mendatangkan belas kasih Allah. Allah yang adalah kasih (Deus Caritas Est,  Hal. 5) memperbaiki relasi yang telah rusak itu. Penginjil Yohanes mengatakan “kerena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal; supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal (Yoh 3:16). Sedangkan St. Montfort  mengatakan demikian (Cinta Kebijaksanaan Abadi, CKA no. 104-105.)

Ketika Sang Sabda Abadi, Kebijaksanaan Abadi, dalam dewan tertinggi Tritunggal Mahakudus mengambil keputusan menjadi manusia untuk memulihkan keadaan manusia yang telah jatuh, Ia memberitahu kepada Adam, sebagaimana boleh diduga, dan berjanji kepada para bapa bangsa yang tua, sesuai dengan kesaksian Kitab Suci, bahwa Ia akan menjadi manusia untuk menyelamatkan manusia (CKA 104). Dan ketika akhir waktu yang ditentukan untuk penyelamatan manusia telah tiba, Kebijaksanaan Abadi mendirikan bagi diri-Nya sebuah rumah, suatu kediaman yang pantas bagi-Nya: Ia menciptakan dan membentuk Maria di dalam rahim santa Anna dengan kegembiraan lebih besar daripada ketika Ia menciptakan semesta alam (CKA 105).

Kebijaksaan Abadi ini memilih Maria sebagai tempat yang pantas bagi dirinya untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Kristus hendak mengangkat kembali manusia menjadi anak-anak Allah bersama dan dalam Maria. Kalau boleh dikata, hanya dalam Marialah  Kristus mengalami kesenangan untuk menyelamatkan manusia.



Yesus sebagai Puncak Kerahiman Allah

            Kristus adalah pelaksana sekaligus puncak kerahiman Bapa. Itu berarti kehadiran Maria dalam rencana keselamatan Allah tidak mengesampingkan kedudukan Kristus sebagai Allah yang Maharahim. Kerahiman Maria tetaplah kerahiman yang mengalir dari Yesus dan bukan sebaliknya. Hal ini bisa kita selidiki dalam Kitab Suci Perjanjian Baru yang mengatakan bahwa puncak kerahiman Bapa adalah Kristus. Dikatakan demikian karena dalam dan melalui-Nya semua manusia dijadikan sebagai anak Allah. Manusia diangkat kembali oleh-Nya dari kegersangan dosa. Artinya Yesus hadir sebagai pemberi air kehidupan kepada manusia, seperti yang telah Ia lakukaan kepada perempuan Samaria itu. Yesus menawarkan kepada wanita itu “mata air” yang terus menerus memancar sampai pada kehidupan yang kekal (Yohanes Paulus II, Yesus Kristus Pembawa Air Hidup.  Hal. 72).

 

Kitab Suci juga menggambarkan kerahiman Bapa melalui perumpamaan. Perumpamaan-perumpamaan itu adalah suatu pristiwa yang dramatis tentang kerahiman Allah.  Perumpamaan tentang domba yang hilang, perempaun yang mencari dirham, bapa yang menyambut anaknya yang hilang dan memeluknya. Perumpamaan-perumpamaan ini bukan sebatas kata-kata, melainkan menjelaskan tentang diri-Nya dan tindakan-Nya. Dan tindakan kasih atau kerahiman Allah yang paling radikal termuat dalam peristiwa salib. Lebih lanjut Kristus melestarikan tindakan penyerahan diri-Nya ini melalui perjamauan Ekaristi. Perjamuan ini adalah perjamuan penyerahan tubuh dan darah-Nya kepada manusia. Roti dan anggur yang kita santap dalam perayaan Ekaristi adalah perjamuan keselamatan. Dalam Ekaristi semua orang yakni Gereja memperoleh kehidupan,  sebab Gereja lahir dari Ekaristi itu sendiri  (Ecclesia De Eucharistia. Hal. 5).



Kerahiman Maria  “Termeterai”

Kerahiman Maria sangatlah perlu dalam penziarahan iman manusia. Alasan yang mendasar adalah  Maria telah dijadikan oleh Allah sebagai mahkluk yang istimewa. Keistimewaan Maria terlihat dalam perannya sebagai Bunda Allah (Theotokos).  Ialah manusia yang melahirkan ke-Allahan dan kemanusiaan Yesus. Secara definitif peran Maria sebagai Bunda Allah dimulai pada peristiwa kabar gembira yakni ketika malaikat Gabriel menyalaminya, “Salam hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau (Luk 1:28), sesungguhnya engkau akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus, Ia menjadi besar, dan akan disebut sebagai Anak Allah yang Mahatinggi (Luk1: 31-32). Ketika Maria menjawab “ya” atas kabar malaikat ini, Roh Kudus menaungi dirinya.

Peristiwa ini mengambarkan suatu relasi ketergantungan antar Maria dan Allah. Maria menggantungkan seluruh dirinya  pada Allah dan Allah juga “bergantung” pada Maria. Ketergantung Maria nampak ketika ia menyerahkan dirinya kepada Allah. Jawaban “ya” atas kabar malaikat Allah adalah gambaran nyata ketergantungan Maria. Dan konsekuensi lanjutan dari jawaban “ya” ini adalah Maria selalu taat pada kehendak Allah. Ketaatannya ini membawa suatu kegembiraan bagi manusia, sebab ikatan maut yang disebab oleh Hawa lama telah dilepaskan oleh ketaatan Maria. Maut melalui hawa hidup melalui Maria (Lumen Gentium, art. 56).

Jawaban “ya” Maria juga melambangkan kerendahan dirinya dihadapan Allah. Maria adalah hamba Allah, “Aku ini adalah hamba Tuhan”. Sebagai hamba Maria menyerahkan seluruh diri kepada Allah. Artinya mencakup seluruh dimensi kehidupannya (baik dalam dimensi jasmaniah maupun rohaniah). Singkat kata Maria seluruhnya adalah milik Allah. Penyerahan diri Maria ini pertama-tama karena adanya kepercayaan. Kepercayaan yang dilandaskan dengan iman yang kuat.  Sedangkan “ketergantungan” Allah adalah soal cara Allah dalam menyatakan diri-Nya kepada manusia. Allah menggunakan Maria untuk secara nyata menjadi seorang pribadi seperti manusia. Montfort mengatakan bahwa Allah Roh Kudus mandul dalam diri-Nya sendiri sebab ia tidak menghasilkan pribadi Allah yang lain. Tetapi dalam Maria Allah Roh Kudus menjadi subur. Subur karena menghasilkan pribadi Allah yang lain yakni Kristus. Sehingga kemudian Maria disebut sebagai mempelai Allah Roh Kudus. Maria dipenuhi oleh Allah Roh Kudus artinya seluruh hidupnya hanya dipimpin oleh Roh Allah. Dengan kata lain, tidak ada sesuatu yang dilakukan Maria dari kehendaknya sendiri melainkan dari Roh Kudus.  Inilah yang kemudian mengapa Allah menjadikan Maria sebagai taman firdaus Adam Baru.

Sebutan Maria sebagai taman firdaus juga menunjukan kekuasaannya dalam merangkul serta mengantar manusia kepada Allah. Kekuasaannya itu telah dimeterai oleh Roh Kudus. Montfort mengatakan “Maria adalah mata air yang termeterai  dan mempelai Allah Roh Kudus yang setia. Hanya Roh Kuduslah yang bertempat tinggal dalam Maria ( BS no 6).

 Dan Maria dijadikan Allah sebagai bendahara rahmat-rahmat-Nya. Darinya kita memperoleh segala rahmat Allah. Singkat kata, dalam dan melalui Maria kita diangkat kembali menjadi anak-anak Allah.

Penutup dan Refleksi

Peran Maria dalam karya keselamatan Allah adalah membuka kembali gerbang firdaus yang telah ditutup oleh Hawa. Maria merangkul semua manusia yang berdosa dan mempersembahkannya kepada Kristus. Tindakan Maria ini adalah tindakan yang mengagumkan. Mengagumkan karena peran Maria tidak berhenti pada peristiwa inkarnasi dan salib. Maria masih mengemban suatu tugas baru yakni menjadi ibu dari seluruh gereja. Hal ini didasari pada apa yang dikatakan Yesus  dari atas salib “Ibu inilah anakmu”. Perlu diketahui bahwa, Kristus tidak hanya menyerahkan Yohanes tetapi Gereja secara keseluruhan. Yohanes hanyalah  pralambang dari Gereja.  Artinya Yesus menyerahkan seluruh Gereja  yang diwakili oleh Yohanes kepada ibu-Nya. Maria menerima tugas ini dan terus membentuk Geraja dalam rahimya sampai menjadi serupa dengan sang kepala yakni Kristus.

 Pengenalan saya terhadap bunda Maria pertama-tama karena kerahimannya. Kerahiman itu nampak ketika ia menunjukkan suatu pengaharapan baru kepada saya. Pengaharapan itu adalah pangggilan yang sekarang sedang saya jalani sekarang ini. Bahwa kualitas jawaban “ya” saya sangat dipengaruhi oleh kerahiman Maria. Artinya bahwa rasa psimistis sebagai orang berdosa, tidak mengaburkan jawaban  “ya” saya. Maria meneguhkan saya untuk tetap setia menjawab “ya”. Saya melihat bahwa peneguhan ini adalah bentuk kerahiman Maria yang tidak berhingga. Ia menerima sekaligus mempersembahkan diri saya kepada Tuhan.

Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan bagi saya untuk menerima sagala kekurangan dan tantangan dengan penuh iman. Salah satu tantangan awal bagi saya ketika menjalani kehidupan di seminari tinggi adalah bersepada. Kelihatannya cukup menantang dan menimbulkan rasa psimistis untuk terus berjalan. Namun berkat didikan Maria, bersepeda kemudian tidak menjadi suatu tanggapan untuk mengatakan tidak pada panggilan. Bahkan saya melihatnya sebagai suatu persembahan diri yang totalitas bagi Tuhan.



Daftar pustaka



Dokumen Konsili Vatikan II. Dalam Konstitusi Dogmatis Lumen Gentium tentang Gereja, art. 56.

Louise Marie Grignion de Montfort.  Bakti Sejati Kepada Maria, (diterj) Pusat Spiritualitas SMM: Bandung, 2002.

Louise Marie Grignon de Montfort. Cinta Kebijaksanaan Abadi, (diterj). Pusat Spiritualitas SMM: Bandung, 2000.

Paus Benediktus XVI. Ensiklik Deus Caritas Est,  Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005.

Paus Yohanes Paulus II, Yesus Kristus Pembawa Air Hidup, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005

Paus Yohanes Paulus II,  Surat Enseklik, Ecclesia De Eucharistia, Jakarta: Depertemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2005

Solbekken, Steinar. Eksposisi Kitab Kejadian. Jawa Timur: Departemen Multimedia Bag. Literatur, 2009.










Jumat, 09 Maret 2018

PENDIDIKAN BERBASIS KARAKTER


Pendidikan yang Berbasis Karakter
Pendidikan dilihat sebagai wahana dalam memanusiakan manusia. Humanisasi pendidikan adalah sebuah proses dari “ada” menjadi “mengada”. “Ada” yang dimaksudkan adalah keberadaan potensi manusia yang belum teraktualisasi. Sedangkan “mengada” menunjukan keberadaan potensi manusia yang sudah  teraktualisasi. Inilah tujuan dari ruang gerak pendidikan. Itu berarti ruang gerak pendidikan harus menyentuh esensi dasar dari pribadi manuisa. Konteks esessi dalam  dunia pendidikan adalah pendidikan karakter.
Dalam pedidikan karater itu kita mengenal tiga point penting yakni afeksi, kognitif dan psikomotorik. Ketiga hal ini menjadi mal yang berfunsi untuk membentuk manusia ke arah manusiawi. Dan soal kedudukan dari ketiganya, hal yang paling mendasar adalah aspek psikomotorik. Psokomotorik ini tidak lain adalah soal karakter. Karakter dilihat sebagai senter of live. Artinya sebagai modal dalam menjalankan dinamika kehidupan. Dengan terbentuknya karakter orang akan mengerti tentang kehidupan dan tujuan dari penziarahannya.

Aktivitas Pendidikan bukan satu arah atau subjek -objek
            Aktivitas pendidikkan adalah aktivitas membentuk dan membangun peserta didik. Aktivitas membangun merujuk pada pengalian potensi-potensi. Karena potensi-potensi itu pada dasarnya memuat keutamaan yakni karakter. Memang benar bahwa pengaktualisasian potensi-pontesi yang ada membuat manusia lebih manusiawi. Inilah yang disebut sebagai humanisasi pendidikan. Dan aktivitas ini ada dua subjek yang terlibat yakni pendidik dan peserta didik. Kedua subjek ini berada dalam satu koridor yang terpisah. Artinya kedua subjek ini memiliki perbedaan namun terarah pada tujuan yang sama.
Hubungan keduanya menentukan kualitas manusiawi. Kualitas manusiawi yang maksimum tidak lain adalah lahirnya karakter yang handal. Manusia akan tahu apa artinya kehidupan. Ia berziarah dengan suatu harapan pasti dan dengan tujuan yang mulia. Manusia seperti inilah yang menjadi harapan dalam membangun dunia yang adil dan damai. Sebab keadilan dan kedamaian adalah tujaun dan harapan dari setiap orang.

Tiga  Arah Pendidikan Karakter (Kognitif, Afeksi dan Psikomotorik)
Pertama adalah aspek kognitif. Aspek kognitif dalam dunia pendidikan tidak lain adalah  soal daya intelektual manusia. Intelektual dalam arti ini adalah kedudukannya. Seberapa besar daya analisis, cara berpikir, cara berargumentasi dan dalam menyampaikan gagasan. Intinya aspek kognitif hanya berkutat pada daya intelektual semata. Lalu permasalahannya adalah bagaimana mengembangkan dan mengasah daya intelektual itu. Pendidik sebagai fasilitator hendaknya kreatif dalam mengembangkan metode belajar. Metode belajar yang efektif sangat membatu murid dalam menggali potensi kognitifnya. Ini sangat penting untuk diingatkan dan dilakukan oleh pendidik. Kualitas aspek kognitif dalam diri anak membantunya bersikap kritis terhadap segala sesuatu. ia kritis dalam mengambil sikap dan tindakan ketika berhadan dengan berbagai macam persoalan. Mungkin sikap kritis ini menjadi suatu tuntutan dalam membangun Indonesia yang beradap. Dikatakan beradap karena indonesia sekarang ini masih terkungkung dalam kebodohan karakter. Hal ini bisa kita amati dalam dunia para elit negara, baik politikus mapun mereka yang berkancah dalam dunia pendidikan itu sendiri. Peran aspek kognitif dalam dunia kehidupan tidak berkembang bahkan tengelam dalam sikap “sekedar” para pemegang negara. Bukankah ini adalah masalah yang sangat krusial? Untuk apa ini dibiarkan tumbuh dan berkembang? Permasalahan ini belum terlihat jelas dalam tubuh orang-orang Indonesia.
Kedua adalah aspek afeksi. Afeksi menjadi kebutuhan dasar tiap manusia. Kebutuhan itu disebut sebagai kebutuhan primer dan bukan sekunder. Sebagai kebutuhan pokok konsekuensinya adalah harus dipenuhi. Aspek afeksi dalam dunia pendidikan sangat mempengaruhi kepribadian anak didik. Semakin intens afeksi diarahkan semakin dewasa anak itu membangun dirinya. Dan konsekuaensi lanjutannya adalah bahwa anak didik semakin peka terhadap dunia sekitarnya. Ia tidak menjadi ego atau mementingkan kehendak diri. Keegoannya semakin himpit dan hilang dan yang ada hanyalah sikap solider. Memang benar bahwa solider tidak sekar aku berelasi dengan lyan. Solider lebih dari aku dan lyan. Lyan bukan sekedar dia yang sebagai objek tetapi dia yang subjek. Maka dalam relasi itu kedalam menjadi hal yang terpenting, melampaui tataran fisik yakni metafisik.
Ketiga adalah psikomotorik. Aspek ini menjadi hal paling mendasar. Dikatakan demikan, karena aspek ini melingkupi ke dua aspek sebelumnya. Dengan kata lain aspek ini bersifat holistik. Holistik berarti mencakup keseluruhan diri manusia. Potensi-potensi yang ada dalam dirinya menjadi benteng. Kematangan aspek ini memudahkan manusia dalam mengarahkan atau mengembangkan dirinya. Dalam hal ini manusia mampu bersikap kritis dengan segala sesuatu yang ada. Ia tidak mudah dipengaruhi oleh pengaruh dari luar.


Kamis, 08 Maret 2018

Dialog: Upaya mendamaikan Agama


Dialog: upaya mendamaikan pluralitas agama
Pengertian dialog dalam konteks pluralitas agama adalah hubungan yang positif dan konstruktif. Hubungan ini dilangsungkan dalam hubungan pribadi-pribadi dan jemaat-jemaat dari agama-agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya, dalam ketaatan kepada kebenaraan dan hormat terhadap kebebasan.[1] Itu berarti dialog bertujuan untuk menciptakan perdamaian, kesejahteraan dan keharmonisan dan hadir sebagai jembatan yang menghubungkan pluralitas agama. Artinya dialog menjadi titik terang dalam meminimalisir konsekensi negatif pluralitas (konflik antara agama). Dikatakan konflik karena dalam pluralitas agama itu tertanam sikap egoisme yang radikal. Egoisme yang radikal itu memperlebar konflik.
Mengapa hal ini terus terjadi? Salah satu alasannya adalah kurangnya  ruang gerak dialog. Semua pihak tidak memberi ruang terhadap“dialog” atas pluralisme agama. Sebenarnya dialog itu tidak perlu diadakan sebab pada dasarnya pluralitas agama memiliki suatu kekayaan yang luhur dan mulia. Edward Schillebeeckx mengatakan “keberagaman agama bukan suatu keburukan yang harus dihilangkan, tetapi suatu kekayaan yang harus diterima dan dinikmati oleh semua[2]. Dan  menikmati pluralitas agama menjadi mungkin jika adanya dialog perjumpaan.
Dialog dalam fenomena perjumpaan itu merangsang kita untuk melihat secara lebih kritis dan semakin terdorong untuk memaknai bahwa fenomen perjumpaan dengan agama yang lain itu bukan hanya sekedar sebagai sebuah perjumpaan biasa. Fenomen perjumpaan bersama yang lain itu mengandaikan sebuah empati yang mendalam[3]. Emanuel Levinas mengatakan bahwa perjumpaanku dengan yang lain itu mendorong saya untuk melakukan tindakan etis. Artinya, perjumpaan dalam dialog melahirkan sebuah tanggung jawab untuk mencintai sesamanya[4]. Tanggung jawab itu kemudian mengarahkan orang pada sikap persaudaraan dan kerja sama yang intensif.[5] Dalam fenomen perjumpaan itu juga keterbukaan harus dikedepankan[6]. Dengan Keterbukaan sebuah agama dapat diterima dan dipahami sebagai suatu yang unik sekaligus menjadi suatu kekayaan. Dan pluralitas agama bukan lagi menjadi alasan terciptanya perpecahan atau konflik.







[1] Armada Ryanto, Dialog Intrareligius. Yogyakarya: Kanisius, 2010, Hal. 39.
[2]Kardiman simbolon, Dialog Interreligius, sebuah Keharusan, dalam Forum No. 1 Thn. XL 2012, Malang: STFT Widyasasa, Hal 41.
[3] Ibid., Hal. 65.
[4] Ibid., Hal. 66
[5] Benyamin Yosef Bria, Melintas Sekat-Sekat Perbedaan Menuju Indonesia Baru yang Pluralitas dan Inklusif. Denpasar: Yayasan Pustaka Nusantara, 2007. Hal. 51.
[6] Ibid., hal 52.

Senin, 05 Maret 2018

Epistemologi Budaya Manggarai


Telaah Epistemologi dalam Budaya Manggarai

(Mendengar,  Berbicara, Menunggu dan Gotong Royong”)


Senget (Mendengar)

Senget secara harafiah berarti mendengar. Dalam budaya manggarai Senget selalu dalam konteks aku engkau. Dalam relasi aku engkau, senget menjadi salah satu aspek dalam berinteraksi. Hal ini juga menekankan soal kedirian manusia itu sendiri yakni sebagai mahkluk sosial (homosocial). Dengan kata lain aspek sosial manusia juga terwujud dalam budaya senget orang Manggarai. Orang Manggarai memaknai kata sengget tidak hanya sebagai medium dalam berinteraksi. Orang Manggarai menempatkan kata senget dalam konteks yang lebih luas. Yang saya maksudkan luas adalah soal bagaimana kata sengget itu dimaknai. Senget bisa merujuk sebagai sarana dalam memahami, mengerti dan mendidik.

Pertama adalah memahami. Memahami yang dimaksudkan dalam kata senget nampak ketika seseorang berhadapan dengan wejangan atau nasihat. Ambil contoh ketika seorang anak membuat kesalahan tentu orang tua akan mendidiknya. Dalam aktivitas mendidik itu antara orang tua dan anak terjadi subuah interaksi. Dalam interaksi itu orangtua berada pada posisi mendidik. Sedangkan pihak yang mendengar adalah anak. Biasanya mendengar menjadi pilihan utama dari seorang anak. Ia mendengar apa yang menjadi nasihat dari orang tuanya. Dalam budaya Manggarai mendengar berarti harus memahami. Seorang anak dituntut untuk memahami apa yang menjadi wejangan atau nasihat dari orang tuanya. Itu berarti mendengar (senget) mengandung dimensi epistemologi yakni memahami. Yang dimaksudkan dengan memahami adalah mengetahui isi dari nasehat itu.

Kedua adalah mengerti. Mengerti dalam kata senget tidak lain juga berarti memahami. Memahami mengenai apa yang dibicarakan oleh lawan bicara. Mengerti dalam arti kata senget juga semacam menjadi syarat utama dalam berkomunikasi. Mengapa demikian? Alasan yang paling fundamental adalah supaya dalam komunikasi  itu berjalan dengan lancar. Artinya bahwa senget selalu menjadi langkah awal dalam memahami isi komunikasi lisan.

Ketiga adalah mendidik. Mendidik juga menjadi bagian dari pemahaman kata senget. Korelasi keduanya tidak jauh berbeda dengan kata memahami dan mengerti. Mendidik yang dimaksudkan dalam kata sengget terletak pada fungsinya. Artinya ketika seorang berada dalam aktivitas senget, ia juga berada pada proses edukatif. Proses edukatif itu tidak lain adalah mendidik. Mendidik yang berbasis karakter. Berbasis karakter yang dimaksudkan adalah soal integritas diri yang matang. Apalagi menjadi manusia berkarakter adalah tujuan penziarahan masyarakat Manggarai.

Itu berarti bahwa aktivitas senget mengandung aspek eduakitf yang luar biasa. Aspek edukatif ini semacam menjadi warna dasar dari aktivitas senget. Memang kelihatan sederhana dan bahkan kebanyakan orang tidak menggapnya sebagai medium dalam memanusiakan manusia. Tetapi sadar atau tidak sadar manusia juga dibentuk oleh aktivitas ini termasuk  masyarakat Manggarai.  Potensialitas dalam memanusiakan manusia dalam aktivitas senget sangatlah besar. Artinya bahwa adanya suatu peralihan dari manusia yang “berada” menjadi “mengada”. Berada yang saya maksudkan adalah manusia yang belum merealisasikan potensi yang ada dalam dirinya. Sedangkan “mengada” tidak lain adalah manusia yang sudah teraktualisasikan potensi yang dalam dirinya.  Dengan demikian senget masuk dalam kategori pedagogis. Saya mengatakan ini karena aktivitas senget menjadi bagian dari aktivitas pendidikan. Kita tahu bahwa fungsi dasar pendidikan adalah memanusiakan manusia atau humanitas. Menjadikan manusia dari sekedar “berada” menjadi “mengada”. Ketika aktivitas senget masuk dalam kategori pedagogi, masyarakat Manggarai semakin mengerti apa artinya bermasyarakat.

Torok (Berbicara)

Secara harafiah torok berarti berbicara (Jilis A.J. Verheijen, 1967: 656). Kata torok ini berbeda dengan kata tombo, turuk atau ganda yang juga berarti berbicara, bukan pula sebagai sinonim. Tombo atau ganda (berbicara) secara khusus merujuk pada aktivitas percakapan manusia sehari-hari. Itu berarti Perbedaannya terletak pada konteks dan isi pembicaraan. Torok selalu dalam konteks yang sangat khusus yakni hanya dipakai dalam upacara adat yang bernuansa resmi sekaligus “sakral”. Dikatakan demikian kerena torok menjadi “ritus” dalam hubungan dengan  sesama maupun dengan para leluhur. Torok sebagai sebuah “ritus” yang “sakral” berarti sebagai sesuatu yang esensial.

Bagi masyarakat Manggarai budaya torok menjadi hal paling penting dalam membagun sebuah relasi dan berkomunikasi, baik relasi dengan sesama maupun dengan para leluhur. Dalam relasi dengan sesama torok berfungsi sebagai cara yang paling formal dan santun. Acara ini terutama  dalam melaksanakan upacara meriah seperti acara tiba meka (terima tamu). Dalam acara terima tamu ini orang Manggarai biasanya menggunakan bahasa yang puitis yang bernuansa kekelurgaan. Tujuannya adalah supaya para tamu tidak merasa minder melainkan merasa nyaman (at home) dengan warga masyarakat. Dan dalam upacara torok ini bahasa simbolis yang digunakan adalah tuak (bir) dan manuk (ayam). Kedua hal ini (tuak dan manuk) memiliki makna khusus bagi orang Manggarai. Tuak  sebagai lambang untuk melepaskan dahaga bagi para tamu sedangkan manuk sebagai hewan korban untuk hidangan. Lebih dari pada itu menunjukan bahwa tamu diterima dengan sepenuh hati oleh masyarakat kampung tersebut. Karena kedudukan yang begitu penting sehingga hanya orang yang mengerti tentang adat yang bisa melakukannya. Bisanya yang melakukan torok adalah tu’a golo kepala kampung atau yang mewakili. Perlu diketahui bahwa kepala kampung ini memiliki kharisma khusus dalam menjalankan tugas ini.

Torok pada dasarnya berdimensi luas. Luas kerena torok menjadi upacara pembuka untuk setiap acara adat yang lain. Itu berarti torok harus sesuai dengan upacara yang dilakukan. Misalnya dalam hubungan antara manusia ada namanya torok tiba meka (terima tamu)  dan torok baro sala (minta maaf). Torok tiba meka dan torok baro sala itu berbeda isinya. Namun keduanya bagi orang Manggarai memiliki unsur sosietas. Dengan demikian torok secara tersirat mengambarkan masyarakat Manggarai yang terbuka.

Sedangkan konteks torok dalam relasi dengan para leluhur menjadi upacara yang sakral. Sakral yang saya maksudkan adalah soal pola relasi yang dibagun. Kita ketahui bahwa pola relasi dengan para leluhur tidak sama dengan pola relasi dengan sesama. Konsekuensinya adalah orang Manggarai melakukannya dengan penuh parhatian. Mengapa demikian? karena dalam konsep orang Manggarai para arwah memiliki pangaruh yang sangat besar dalam kehidupan mereka. Mereka mengangap bahwa para arwah bisa berbuat sesuatu kepada mereka,  entah itu hal yang baik maupun yang buruk. Hal yang baik misalnya mendapat hasil panen yang melimpah atau mengalami penyembuhan dari penyakit yang berat. Sedangkan hal yang buruk misalnya adanya kematian atau malapetaka. Hal  ini memang sungguh terjadi. Itu berarti, para leluhur memiliki kedudukan yang penting dalam dinamika kehidupan masyarakat Manggarai. Dalam upacara torok itu orang Manggarai mengunakan telor ayam kampung sebagai ganti bir. Telor ini sebagai sesajian awal, yang berfungsi untuk mengundang mereka. Kehadiran mereka sangat penting dalam melaksanakan suatu kegiatan adat.

Maka Torok dalam kaca mata pengetahuan berdimensi luas. Luas karena meyentuh seluruh dinamika kehidupan manusia. Di sana kita menemukan apa yang disebut cinta, penghargaan dan relasi. Sehingga tidaklah salah kalau  budaya ini menjadi “itu” yang hidup. Sebab dari sana jugalah orang Manggarai membangun cara hidup dalam bermasyarakat. Membangun masyarakat yang harmonis dan aman. 

Dodo (Bergotong Royong)

Secara harafiah dodo berarti bertolong-tolong (Jilis A.J. Verheijen, 1967: 86). Bertolong-tolong dalam konteks budaya Manggarai merujuk pada aktivitas kerja. Itu berarti dodo berarti bekerja seperti berkebun. Berkebun bagi masyarakat Manggarai menjadi habitus. Dikatakan demikian, karena  masyarakat Manggarai didominasi oleh masyarakat agraris. Konsekuensinya adalah tanah menjadi tempat untuk mencari nafkah. Dan bagi orang Manggarai tanah adalah harta karun. Harta karun ini selalu dijaga karena dianggap sebagai jiwa dari para leluhur lalu kemudian dikelola.

Tanah dikelola dengan maksud untuk mendatangkan sesuatu yang berguna bagi kehidupan. Tidak seperti masyarakat kapitalis atau industri yang mendapatkan segala sesuatu dengan mudah. Masyarakat Manggarai yang merupakan masyarakat agraris, mendatangkan segala sesuatu dari tanah. Bagaimana mereka mendatangkannya? Mereka mendatangkan atau memproleh kebutuhan itu dengan bekerja. Dan dalam mengelola tanah itu masyarakat Manggarai selalu bekerja sama. Artinya dalam membuka lahan, menanam dan memanen sesutu selalu melibatkan orang lain. Orang lain menjadi patner atau sesama yang hadir untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Dodo masuk dalam konteks ini. Namun dodo bukan sekar kerja sama. Dodo lebih merujuk pada sistem kerja balas jasa. Misalnya ada lima orang (Nadus, Idus, Erdus,Bentus dan Retus) yang memiliki lahan untuk menanam sesuatu. Ke lima orang ini bekerja secara bertahap tergantung dimulai dari mana. Namun hukum dasar yang berlaku dalam aktivitas dodo tidak sekedar balas jasa tetapi bernuangsa kekeluargaan.

Nuangsa kekeluargaan dalam aktivitas Dodo menjadi perhatian tiap-tiap orang. Memang benar bahwa, masyarakat Manggarai sangat memperhatikan aspek  sosialis. Aspek sosaial ini sangat kental dan paling hidup dalam seluruh dinamika kehidupan masyarakat Manggarai. Itu berarti dodo bukan sebatas bekerja. Ia melampaui kerja itu sendiri. Dodo juga mencakup hakekat hidup manusia. Hakekat hidup itu misalnya adalah sikap  peduli dan adanya sikap saling tolong menolong. Kedua sikap ini dilihat sebagai sarana dalam memudahkan masyarakat Manggarai untuk mengerti mengenai penziarahan. Penziarahan di dunia ini bukanlah penziarahan hanya dalam konteks aku berpikir. Aku berpikir atau cogito dalam paham Rene Deskartes. Bagi masyarakat Manggarai cogito belum menyentuh inti penziarahan. Bagi masyarakat Manggarai penziarahan itu adalah proses aku yang bertindak. Aku bertidak nampak dalam budaya dodo.  Memang benar bahwa, dodo sangat menentukan penziarahan orang lain. Orang lain dalam konteks dodo sangat berpengaruh besar. Kehadirian orang lain menjadi anugerah tersendiri. Dikatakan demikian, karena keberhasilan atau kegagalan juga tergantung sejauh mana ia melibatkan diri dalam masyarakat.

Orang lain di sini mengacu pada lyan. Lyan bukanlah objek yang harus terpisah dari aku sebagai subjek. Lyan adalah subjek yang berada bersama aku  . Antara aku dan lyan tidak terdapat keterpisahan. Pemahaman inilah yang nampak dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Orang Manggarai menempatkan lyan sebagai aku yang lain atau alter ego. Yang dimaksud dengan aku yang lain adalah dia yang sama dengan seluruh keakuan. Sehingga lyan sangatlah pantas ditempatkan pada level yang sama dengan aku. Menempatkan lyan pada level yang sama dengan aku nampak dalam aktivitas dodo. Aktivitas dodo sungguh menggarahkan pada pembangunan lyan. Pembangunan lyan tidak lain adalah membangun integritas dan kematangan kepribadiaan. Kualitas diri lyan adalah salah satu tujuan dari aktivitas dodo.

Maka dodo dalam konteks epistemologi adalah terletak pada cirinya yakni sosialis. Masyarakat sosialis mengajarkan banyak hal untuk perkembangan kehidupan terutama soal kualitas manusia.

Gereng (Menunggu)

Secara harafiah gereng berarti menunggu (Jilis A.J. Verheijen, 1967: 139). Itu berarti gereng merujuk pada suatu aktivitas. Aktivitas itu adalah aktivitas subjek. Dalam aktivitas ini subjek berada pada disposisi tidak menentu. Tidak menentu karena aktivitas ini berhadapan dengan suatu yang belum pasti. Dan ketidakpastiannya dilihat sebagai suatu beban. Singkat kata gereng atau menunggu mengandung konsekunesi negatif. Konsekuensi negatif dari aktivitas ini tidak lain adalah membuat orang merasa lelah. Walaupun demikian aktivitas gereng juga mengandung nilai-nilai positif. Nilai-nilai positif itu adalah menyangkut nilai kemanusiaan. Inilah salah satu alasan mengapa orang Manggarai menempatkan aktivitas ini sebagai aktivitas yang  mulia.

Dari penjelasan di atas kita dapat mengatakan bahwa aktivitas gereng mengadung dua paradigma yang bertentangan sekaligus luas. Dikatakan luas karena pengunaannya mencakup seluruh tatanan kehidupan manusia. Dan tergantung bagaimana orang menempatkannya dalam pengunaan kalimat. Beberapa contoh makna kata gereng bedasarkan konteks kalimat dan berdasarkan aktivitas kehidupan orang Manggarai.

Ada percakapan yang berbunyi “Gereng nia ha’u to’ong” (kamu tunggu dimana sebentar) dan “gereng no’o aku to’ong” (saya tunggu di sini sebentar). Dua kalimat ini mengambarkan sebuah percakapan. Percakapan yang bernuangsa perencanaan. Perencanaan itu adalah perencanaan yang pasti dan akan dilaksanakan oleh keduanya. Itu berarti dalam percakapan ini terjadi apa yang disebut relasi. Relasi timbal balik dalam aktivitas ini menjadi poin penting. Penting karena dalam relasi ini terkandung juga beberapa nilai. Nilai yang paling nampak adalah corporation (kerjasama). Kerjasama dari kedua belah pihak ini mengambarkan realitas masyarakat Manggarai yang selalu menjujung tinggi kerja sama. Di sinilah letak nilai kemanusiaan.

Kata “gereng nia” (tunggu di mana) tidak lain mengacu pada tempat atau posisi. Dikatakan demikian karena nia dalam bahasa manggarai berarti di mana. Itu berarti kata “di mana” mengacu pada tempat. Dan pertayaan nia atau di  mana selalu membutuhkan sesuatu jawaban yang pasti. Kepastian yang diaksudkan adalah soal tempat.  Sehingga jawaban gereng no’o adalah jawaban yang pasti dari pertayaan “gereng nia”.  Sebab gereng no’o  berarti tunggu di sini. Di sini mengacu mengacu pada tempat yang pasti.

Sedangkan kalimat lain yang berbunyi “gereng hau to’ong” adalah ungkapan yang terarah pada sikap destruktif. Dikatakan destruktif karena mengandung nilai permusuhan yang hendak menjatuhkan atau melukai orang lain. Itu berarti kalimat ini memiliki intensitas dendam. Dendam berarti adanya sikap ingin membalas kesalahan tersebut atau adanya ancaman. Ancaman terhadap seseorang yang telah membut kesalahan tertentu atau yang telah menyingung atau melukai hati sesorang. Membalas berarti orang tersebut berada pada disposisi yang salah. Dikatakan demikin karena membalas kejahatan dengan kejahatan adalah ungkapan kebinatangan dalam diri manusia “dehumanisasi”. Membuat manusia tidak manusiawi. Masyarakat Manggrai juga sering jatuh pada model hidup hidup seperti ini. Presentase akibat dari tindakan semacam ini sangat besar dan snagat sulit untuk dikendalikan secara cepat. Dari dua kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa kata gereng bermakna ganda seperti dua kalimat di atas. Makna ganda dari kata ini menunjukan bahwa budaya Manggarai kaya akan nilai budaya terutama dari sudut bahasa. Bahasa manggarai kalau dipelajari sangat sulit, alasannya adalah memiliki makna ganda. Memang tidak semua kata memiliki makna ganda.

Rujukan: Jilis. A. J. Verheijen.  Kamus Manggarai-Indonesia. Tanpa kota terbit: Koninklijk Instituut Voor Taal Land En Volkenkunde. 1967




Jumat, 02 Maret 2018

estetika rene descartes


Paham Estetika Rene Descartes

Pendahuluan

            Rene Descartes mendasari filsafatnya dalam acuan sebuah keraguan atau skeptis[1]. Ia mengatakan bahwa kita tidak boleh menerima suatu kebenaran karena sebuah pengandaiaan semata[2]. Kita harus meragukan atau menyangsikan segala apa yang ada yang tidak secara pasti kita mengetahui kebenarannya.
            Baginya suatu kebenaran mutlak diterima setelah diverifikasi melalui sebuah keraguan. Dengan demikian, metode yang digunakan dalam berfilsafat Descartes adalah peyangsian yang bersumber pada rasional subjek. Hal ini sangat jelas dalam pemikirannya yang berbunyi “cogito ergo sum” aku berpikir maka aku ada[3]. Aku adalah subjek yang menjadi rujukan dalam menemukan kebenaran itu. Kebenaran yang lahir dari rasional subjek adalah kebenaran yang pasti. Tetapi bahwa tidak semua hal harus kita ragukan kebenarannya. Ia mengatakan bahwa hanya ilmu pasti yakni matematika dan geometrilah yang tidak perlu diragukan kebenarannya.  
            Gambaran utama filsafat Descartes adalah epistemologi. Epistemologinya mencakup berbagai macam tema seperti: dualisme jiwa dan badan, Tuhan, dan sebagian kecil tentang estetika. Pada kesempatan ini saya hanya membahas tentang kedudukan Estetika. Estetika Descartes adalah estetika yang lahir dari epistemologi. Estetika baginya tidak bisa terlepas dari kedudukan rasio manusia yang berfungsi menentukan suatu kebenaran. Estetika itu menyangkut kebenaran yang di dalamnya terdapat kejelasan dan keterpilahan. Itu berarti penilaian terhadap estetika berangkat dari epistemologi yakni soal jelas dan terpilah. Jelas dan terpilah mengatakan bahwa kesenian itu harus terserap dalam rasio subjek
Rasionalisme dan Wacana Estetika[4] 
            Rasionalisme menjadi aliran pemikiran Descartes. Dikatakan demikian karena sumber pengetahuan dapat dikenal melalui ratio dan nalar. Dan dalam konteks wacana estetika kita temukan dalam pemikirannya seperti:  
Kelahiran Epistemologi Modern sebagai Prakondisi Disiplin Estetika[5]
Untuk sampai pada kebenaran sangat diperlukan sikap skeptis. Dengan cara seperti ini Descartes menemukan kriteria utama yang menjamin kepastian pengetahuan yakni kejelasan dan keterpilahan. Hanya ide-ide yang memiliki kejelasan dan keterpilahanlah yang bisa disebut sebagai ide yang benar. Dengan demikian kebenaran mensyarakatkan kejelasan dan keterpilahan. Ada empat langkah yang ditawarkan Descartes dalam menemukan kebenaran dari segala sesuatu. 
Pertama, kita harus menghindari sikap tergesa-gesa dan prasangka dalam mengambil sesuatu keputusan dan hanya menerima yang dihadirkan pada akal secara jelas dan tegas sehingga mustahil disangsikan. Kedua, setiap persoalan yang diteliti harus dipilah-pilah ke dalam hal-hal yang paling kecil sejauh itu mungkin dilakukan. Ketiga, berangkat dari hal-hal yang induktif atau khusus ke hal-hal yang dediktif atau umum. Keempat, setiap persoalan ditinjau secara universal atau menyeluruh, sehingga tidak ada yang dilalaikan[6]
Ide yang jelas adalah ide yang hadir secara langsung di hadapan akal budi kita tanpa perantara ingatan, prasangka atau hambatan lainnya. Contoh 2+2 =4 lebih jelas dalam akal budi kita, dibandingkan dengan pohon mangga di halaman depan kampus yang kita lihat minggu lalu. Sedangkan sebuah ide dikatakan terpilah-pilah bila ide tersebut dapat dibedakan dari ide-ide lain yang menyerupainya. Contoh, ide tentang 2 lebih terpilah dengan nada 2 “re” dan lebih terpilah dengan ide tentang aroma.
Hubungannya dengan estetika adalah soal sensasi artistik dengan karya seni yang dapat digolongkan sebagai perspeksi jelas tetapi tidak terpilah-pilah. Contoh, ketika kita kesakitan karena kepala kita terbentur tembok, rasa sakit itu jelas hadir dalam akal budi kita, tetapi tidak betul-betul terpilah dari perasaan yang mendampinginya seperti: rasa pusing, ngilu perih, atau kesan berkunang-kunang. Demikanpun dengan sensai artistik. Saat kita memandang sebuah lukisan yang indah, kita sulit memilah antara rasa indah dengan rasa yang ditimbulkan oleh berbagai bagian dari karya maupun rasa yang timbul dari asosiasi makna karya tersebut. 
Rasionalisme Jiwa dan Pakem Akademi[7]
Bagi Descartes jiwa manusia sungguh-sungguh ada dan tidak dapat diciutkandalam komponen-komponen badani semata. Jiwa yang berkordinator dengan tubuh akan mewujudkan aktivitas manusia tertentu. Untuk itu ia menguaraikan bentuk-bentuk afeksi dalam jiwa dan bagaimana afeksi tersebut mewujud dalam fisiologi manusia.  Misalnya rasa benci selalu diiringi oleh denyut nadi yang tak teratur dan lebih cepat. Karena perasaan adalah gerak jiwa yang mengemukakan dalam manifestasi fisiologi  tertentu, Descartes kemudian merinci juga bentuk-bentuk ekspresi visual dari perasaan. Misalkan, rasa bahagia diiringi dengan denyut nadi yang lebih cepat maka aliran darah pun mengalir dengan cepat sehingga warna kulit cendrung memerah, sementara kesedihan akan tampak dalam warna wajah yang pucat karena kesedihan  selalu diiringi oleh denyut nadi yang lebih pelan.
Pengaruh estetika Descartes tampak dalam diskusi-diskusi yang diadakan dalam akademi seni lukis patung kerajaan. Charles Le Brun seorang pelukis memberikan    kuliah tentang tentang metode pengungkapan perasaan secara visual.  Ia berangkat dari posisi dasar pemikiran Descartes “perasaan adalah suatu gerak dalam jiwa”.
Estetika sebagai Epistemologi (Aleksander G. Baumgarten)
            Baumgartes adalah penemu disiplin estetika. Walaupun demikian kajian disiplin kajian filsafat seni sudah ada sebelumnya. Estetika Baumgartes memiliki kekhasan tertentu yakni warna rasionalis. Ia mengikuti epistemologi filsafat modern yang bermula dari Descartes. Baumgarten mengartikan estetika sebagai kajian tentang salah satu bentuk pengetahuan manusia, yakni pengetahuan indrawi. Baginya bahasa seni adalah bahasa indra. Apa yang diungkapkan oleh karya seni adalah selalu menyatakan indrawi tertentu. Ada beragam bentuk kenyataan indrawi yang dinyatakan oleh karya seni seperti rasa sedih atau yang berurusan dengan warna. Dalam arti ini bahasa seni memiliki kemiripan dengan bahasa ilmu-ilmu empiris, sejauh itu berurusan dengan kesan indrawi.
      Namun wacana seni tetap berbeda dari wacana ilmu empiris. Wacana ilmu empiris masih berkisar antara bahasa indra dan bahasa konseptual. Wacana seni sepenuhnya berlandaskan pada bahasa indra. Inilah yang dimaksud Baumgarten sebagai wacana indrawi sempurna, dengan puisi sebagai salah satu contohnya. Dari sinilah ia menarik  dua jenis pendekatan yakni pendekatan rasional yang mengkaji bahasa konseptual murni yang disebut sebagai logika. Sedangkan pendekatan rasional yang mengkaji bahasa indrawi  murni desebut estetika. 
            Ia mengunakan ide Descartes mengenai ide yang jelas dan terpilah-pilah untuk mengatakan kesan indrawi yang ditimbulkan oleh karya seni. Menurutnya, karya seni yang baik adalah karya yang dapat menghadirkan ide atau kesan tertentu secara jelas tanpa perantara.

Relevansi Estetika Descartes
            Kita mengetahui bahwa Rene Descartes adalah seorang filsuf rasionalisme. Rasio sebagai acuan utama dalam menemukan kebenaran. Dan untuk sampai pada kebenaran itu metode yang digunakan adalah peyangsian. Tujuan dari peyangsian adalah untuk menemukan kebenaran yang berlandaskan pada kejelasan dan keterpilahan. Kita tidak boleh menerima suatu kebenaran sebelum mengetahui apakah kebenaran itu jelas dan terpilah dari kebanaran yang lain. Maksud keterpilahan dari kebenaran yang lain adalah supaya apa yang kita terima itu tidak tumpang tindih. Dan bawah kita dapat membedakan kebanaran yang satu dengan kebenaran yang lain. 
            Berhadapan dengan konsep atau pemahaman seperti ini, kita diajak untuk bersikap kristis terhadap segala kebenaran yang ada. Terlebih khusus semua kebenaran yang sepenuhnya belum kita ketahui secara lengkap. Kita perlu mengklarivikasi suatu pengetahuan sejauh itu terkesan kabur bagi rasio kita. Tujuannya adalah agar kita tidak terjebak dalam memahami apa yang ada sebagai suatu yang benar yang sebenarnya itu tidak benar. Dengan kata lain kita menerima suatu kebenaran setelah menemukan kejelasaannya dan terpilah dari kebenaran yang lain.  
            Sebagai mahasiswa, kita harus mengasah daya rasio. Pengasahan rasio bertujuan untuk mematangkan sekaligus memurnikan cara berpikir, yakni soal berpikir yang sistimatis, metodis dan struktur. Dalam kaitannya dengan keindahan atau estetika, Descartes mengajarkan kita soal cara menilai seni. Seni itu perlu dinilai secara jelas. Kesenian itu terletak pada kejelasannya terhadap rasio subjek.

Daftar Pustaka

                Bertens, K.  Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1983.

             Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995.

             Iswant, Andi. Descartes; Masa Transisi Historis Menuju Dunia Modern,Yogyakrta:        
             Jendela, 2003.

             Suseno, Franz Magnis.  Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius,1992.

             Suryaja, Martin. Sejarah Estetika, Jakarta: Gang Kabel, 2016.



           







[2] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, Hal. 69.
[3] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Hal. 21.
[4] Martin Suryaja, Sejarah Estetika, Jakarta: Gang Kabel, 2016, Hal. 282.
[5] Ibid., 282-284
[6] Andi Iswant, Descartes; Masa Transisi Historis Menuju Dunia Modern, Yogyakrta: Jendela, 2003, Hal 47.
[7] Log. Cit., Hal 284-286.

LABOREM EXERSENS: KERJA SEBAGAI TINDAKAN MANUSIAWI (CACATAN KRITIS ATAS PENGARUH MODAL DALAM DIMENSI KERJA MASA KINI YANG MENGALENIASI MA...